Ilustrasi lokasi pertambangan emas, tembaga, nikel, batu bara, dan mineral lain / Dok. Archi Indonesia
Energi

Ambisi Hilirisasi Nikel: Realistis atau Salah Strategi?

  • Pemerintah seharusnya mereview strategi yang diterapkan, terutama karena pangsa pasar global sudah menemukan berbagai alternatif energi dan bahan baku untuk membangun energi seperti kendaraan berbahan bakar hidrogen dan fusi.

Energi

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Pemerintah Indonesia telah lama berambisi untuk melakukan hilirisasi nikel sebagai salah satu strategi pengembangan ekonomi dan peningkatan nilai tambah sumber daya alam (SDA).  Namun, apakah ambisi ini masih realistis mengingat tantangan lingkungan dan ekonomi yang ada?

Dewan PakarDewan Pakar Koalisi Kawali Indonesia Lestari, Dodo Sambodo, menyatakan ambisi pemerintah untuk melakukan hilirisasi nikel mungkin bukan strategi yang tepat lagi untuk saat ini. Koalisi Kawali Indonesia Lestari merupakan gerakan lingkungan hidup dan Hak Asasi Manusia yang bersifat terbuka dan independen.

Menurutnya, pemanfaatan SDA yang berlebihan dapat mempercepat kerusakan lingkungan, terutama karena nikel adalah sumber daya yang tidak terbarukan. 

"Jangankan hilirisasi, memanfaatkan SDA terlalu berlebihan dapat mempercepat kehancuran SDA itu sendiri, apalagi yang non-renewable," ungkap Dodo kepada TrenAsia.

Dodo juga menyoroti bahwa pemerintah seharusnya mereview strategi yang diterapkan, terutama karena pangsa pasar global sudah menemukan berbagai alternatif energi dan bahan baku untuk membangun energi seperti kendaraan berbahan bakar hidrogen dan fusi. 

“Pemerintah sebenarnya salah strategi, tetapi teteap dilanjutkan, padahal pasar global sudah menemukan berbagai cara untuk memproduksi energi atau raw material membangun energi itu”, tambah Dodo

Namun, ia menambahkan bahwa pemerintah tampaknya tetap berambisi menyelesaikan proyek nasional yang memerlukan dana besar.

Nikel Tidak Laku Lagi?

Dalam konteks ini, Dodo menyebut bahwa banyak aktor transnasional menangkap peluang dari banyaknya pilihan energi yang ada. Hal ini menyebabkan permintaan terhadap nikel didunia menurun. 

"Mestinya kalau global sudah menemukan, kita mereview sehingga strategi yang dilakukan itu masih cocok atau tidak, orang-orang transnasional ketika melihat banyak pilihan energi pasti mereka memilih mana yang menghasilkan keuntungan terbesar dan paling laku, sehingga nikel jadi tidak laku lagi," jelasnya.

Lebih lanjut, Dodo memprediksi bahwa mobil listrik mungkin tidak akan laku di masa depan karena cadangan minyak yang masih melimpah dan cenderung murah.

Dodo juga menyebut adanya dua raksasa minyak yang telah menandatangani kontrak pengeboran miliaran barel minyak di Afrika yang tidak akan habis hingga tahun 2060. 

“Tidak usah saya sebut namanya, kemarin dua raksasa minyak menemukan cadangan dan sudah teken drilling milyaran baler minyak di Afrika dan bisa digunakan dunia sampai 2060”, terang Dodo

Evaluasi Strategi 

Dodo menekankan bahwa Indonesia seharusnya melakukan evaluasi terhadap strategi energi yang diterapkan. 

Ia juga menyarankan bahwa energi hibrida antara hidrogen dan fosil akan menjadi pilihan yang paling diminati pasar dimasa depan karena lebih murah untuk dijual di pasaran. 

"Hibrida besok hidrogen dan fosil, karena fosil lebih murah," tutupnya.

Evaluasi mendalam dan adaptasi terhadap dinamika global mungkin menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam mengelola SDA dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.