Ambisi Jokowi Lewat LPI (Serial 3): Gadai Aset Negara Demi Investasi Asing?
Perkembangan Sovereign Wealth Fund (SWF) alias Lembaga Pengelola Investasi (LPI) semakin menarik untuk dicermati. Bagaimana tidak, belum juga lembaga ini resmi dibentuk, tapi minat investasi sudah mengucur deras ke Tanah Air.
Industri
JAKARTA – Perkembangan Sovereign Wealth Fund (SWF) alias Lembaga Pengelola Investasi (LPI) semakin menarik untuk dicermati. Bagaimana tidak, belum juga lembaga ini resmi dibentuk, tapi minat investasi sudah mengucur deras ke Tanah Air.
Tercatat, sudah ada US$6 miliar dana yang dikabarkan bakal masuk ke Indonesia melalui SWF. Dana itu didapat menyusul hasil kunjungan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir ke luar negeri pada akhir November hingga awal Desember lalu.
Rinciannya, US$4 miliar atau Rp56,68 triliun (kurs Jisdor Rp14.171 per dolar Amerika Serikat/AS) didapat dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC). Sisanya, US$2 miliar setara Rp28,34 triliun dari Development Finance Corporation (DFC), AS.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin investasi itu bisa mengalir begitu saja sementara lembaganya sendiri belum terbentuk?
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto menjelaskan, investasi itu mengalir lantaran pemerintah telah menetapkan struktur yang jelas pada lembaga SWF.
Proses pembentukannya pun telah dibantu oleh sejumlah negara yang bakal menjadi mitra investasi, termasuk Abu Dhabi, Jepang, dan AS. Dalam strukturnya, SWF akan memiliki dua posisi strategis yang dapat menjaga independensi dan tetap berpretensi pada kepentingan nasional.
Posisi strategis pertama adalah dewan pengawas. Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan tiga orang profesional yang ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal mengisi jabatan struktural tersebut.
Lalu di bawah dewan pengawas itu bakal ada dewan direktur. Dewan ini, kata Seto, bakal mengatur bagaimana investasi SWF dapat dialirkan, namun tetap dalam pengawasan dewan pengawas.
Belajar dari 1MDB Malaysia
Itu pulalah yang membedakan SWF Indonesia dengan lembaga investasi One Malaysia Development Berhad (1MDB) yang sempat menjerat kasus dugaan korupsi Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada Juli lalu. Bedanya, 1MDB diawasi langsung oleh perdana menteri, sementara SWF diawasi oleh dewan pengawas yang terdiri dari unsur pemerintahan, profesional, dan lembaga independen.
“Ini sudah di-advice oleh Abu Dhabi, Jepang, Amerika. Kalau struktur governence-nya enggak bagus, saya kira Jepang dan Amerika enggak mau commit seperti yang kemarin kita dapatkan ya,” tutur Seto kepada TrenAsia.com, Senin, 14 Desember 2020.
Di luar investasi itu, pemerintah sebetulnya juga sudah menargetkan suntikan dana sebesar US$20 miliar atau Rp283,42 triliun melalui SWF. Pemerintah akan menyuntik sekitar US$5 miliar atau Rp70,85 triliun. Sedangkan sisanya, didapat dari foreign direct invesment (FDI) senilai US$15 miliar atau Rp212,56 triliun.
Seto meyakini, dana itu bakal mudah dicapai mengingat skema investasi yang ditawarkan SWF telah memiliki kepastian hukum yang baik dan bakal diawasi oleh lembaga pengawas independen internasional. Beberapa lembaga pengawas independen seperti Ernst and Young (EY) dan Price Waterhouse Coopers (PwC) bakal digaet untuk turut berperan dalam pengawasannya.
“Karena ini ‘kan komersial ya. Terus ‘kan ini ada kerja sama investasinya dengan lembaga internasional,” kata Seto.
Ekuitas Bukan Utang
Sementara itu, Tim Pengkaji Pembentukan SWF dari Kementerian BUMN Arief Budiman mengatakan bahwa dana investasi yang masuk ke SWF ini nantinya akan datang dalam bentuk ekuitas. Bukan utang seperti yang banyak dikhawatirkan banyak pengamat.
Artinya, investasi yang masuk seperti saham. Kedua belah pihak akan menanggung risiko yang sama. Bukan utang yang butuh jaminan aset ataupun lainnya.
“Ini bukan pinjaman. Ya engak ada (jaminan). kalau utang kan diitungnya utang lagi,” ungkap Arief saat dihubungi terpisah.
Dengan mekanisme ini, sambung Arief, pemerintah dan pihak swasta bakal bahu membahu mendanai proyek-proyek pembangunan yang sudah ditargetkan. termasuk infrastruktur. Skemanya, pemerintah atau SWF bisa membeli ekuitas dari proyek-proyek yang sudah dibangun maupun yang baru direncanakan.
Misalnya, PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) tengah membangun tol dengan investasi senilai Rp10 triliun. Nah, proyek itu bisa dibeli oleh SWF dengan dana yang telah masuk dari pihak luar maupun pemerintah. Artinya, SWF akan menjadi salah satu pemegang saham dalam proyek ini.
Dana yang didapat dari SWF itu nantinya bisa dimanfaatkan oleh perusahaan untuk melunasi utang-utang perbankan ataupun untuk mendanai proyek lainnya.
Intinya, SWF hanyalah lembaga investasi yang bakal membantu pendanaan proyek-proyek pembangunan melalui pembelian ekuitas, baik dalam bentuk kas ataupun saham. “Jadi fokus kita itu ekuitasnya,” pungkas dia. (SKO)
Artikel ini merupakan sambungan dari serial sebelumnya: