Ambyar Dihantam Corona! Utang Menggunung, Rugi Garuda Indonesia Melambung Rp16,46 Triliun
Hantaman pandemi COVID-19 terhadap industri aviasi telah membuat emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bersandi saham GIAA ini harus membukukan rugi hingga belasan triliun rupiah.
Industri
JAKARTA – Maskapai penerbangan nasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk harus menelan pil pahit sepanjang 2020. Hantaman pandemi COVID-19 terhadap industri aviasi telah membuat emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bersandi saham GIAA ini harus membukukan rugi hingga belasan triliun rupiah.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan per 30 September 2020, Garuda Indonesia harus meneguk kerugian sebesar US$1,07 miliar atau setara Rp16,46 triliun (kurs Rp14.925 per dolar Amerika Serikat). Jumlah tersebut kian memperdalam kerugian perseroan pada kuartal II-2020 yang sebesar US$712,73 juta atau Rp10,64 triliun.
Tren ini menjadi kebalikan kinerja Garuda Indonesia pada kuartal III-2019 yang masih mampu menorehkan laba sebesar US$122,42 miliar atau Rp1,83 triliun. Tetapi waktu itu, pendapatan GIIA masih mencapai US$3,54 miliar.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Nah sekarang, pendapatan usaha perseroan sudah terkuras hingga 67,84% menjadi hanya US$1,14 miliar. Pada periode ini, pendapatan Garuda Indonesia benar-benar terpangkas habis oleh pandemi COVID-19.
Tengok saja pendapatan segmen penerbangan berjadwal GIAA yang terjungkal hingga 67,2% dari US$2,79 miliar menjadi hanya US$917,29 juta. Pun demikian pada segmen penerbangan terjadwal yang melorot 81,22% dari US$249,91 juta menjadi US$46,93 juta. Begitu pula dengan pendapatan lainnya yang merosot 64,73% dari US$494,89 juta menjadi US$174,56 juta.
Defisiensi Modal
Meski Garuda Indonesia mampu mengurangi beban usaha perseroan dengan sejumlah efisiensi, namun hal ini tidak cukup untuk menutupi kerugian yang harus ditanggung perusahaan pelat merah itu.
Tercatat pada periode ini, beban usaha perseroan susut 31,7% dari US$3,29 miliar menjadi US$2,24 miliar. Penyusutan paling kentara pada beban operasional penerbangan yang turun 32,72% dari US$1,94 miliar menjadi US$1,3 miliar.
Dari pos kewajiban, liabilitas GIAA telah menyentuh level US$10,36 miliar. Sedangkan ekuitasnya justru menyusut jadi negatif alias defisiensi modal US$455,57 juta. Berbanding terbalik dengan ekuitas perseroan pada kuartal III-2019 yang masih positif US$720,62 juta.
Utang Garuda juga melambung. Tengok saja pinjaman jangka pendek mencapai US$754,3 juta setara Rp11,2 triliun. Liabilitas sewa pembiayaan mencapai US$840,8 juta setara Rp12,5 triliun.
Demikian pula utang obligasi yang mencapai US$491,3 juta setara Rp7,3 triliun. Apalagi liabilitas sewa pembiayaan jangka panjang senilai US$4,27 miliar atau Rp63,7 triliun serta estimasi biaya pengembalian dan pemeliharaan pesawat US$1,06 miliar setara Rp14,9 triliun.
Terakhir, aset perseroan pada periode ini tumbuh dari US$4,46 miliar menjadi US$9,91 miliar. Nilai tersebut terdiri dari aset lancar sebesar US$714,33 juta dan aset tidak lancar US$9,91 miliar. (SKO)