<p>Ilustrasi cukai rokok / Beacukai.go.id</p>
Nasional

AMTI dan GAPPRI Nilai Revisi PP Produk Tembakau Nomor 109/2012 Tidak Sesuai Prosedur

  • Setelah ditolak Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) akhir tahun lalu, Kementerian Kesehatan dipastikan akan mengajukan kembali izin prakarsa revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Nasional
Liza Zahara

Liza Zahara

Author

JAKARTA -Pelaku industri hasil tembakau (IHT) menilai, pengajuan proses revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan oleh Kementerian Kesehatan masih minim keterlibatan publik, terutama dari pihak pelaku IHT yang akan menjadi objek utama kebijakan.

Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menegaskan, Kemenko-PMK bahkan telah menggelar uji publik akhir Juli lalu tanpa pernah ada komunikasi dengan pelaku IHT sebelumnya.

“Semestinya uji publik ada untuk kita memberi masukan, tapi karena sebelumnya kami tidak pernah diajak berdiskusi, jadi secara prosedural kami tidak tahu apapun terkait prosesnya, dan tiba-tiba diundang untuk uji publik. Yang kami takutkan adalah kehadiran kami menjadi fait accompli, hanya untuk menjustifikasi bahwa kami sudah diajak diskusi, dan tiba-tiba disahkan. Padahal kami tidak setuju dengan poin-poin revisi yang diajukan,” jelasnya dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat, 12 Agustus 2022.

Tidak transparan dan minimnya partisipasi dari pelaku IHT dalam proses dinilai kembali mengulang kesalahan yang sama. Budidoyo pun menilai hal tersebut menjadi salah satu pertimbangannya dalam menolak revisi PP 109/2012, di samping secara substansial poin-poin revisi juga sangat memberatkan. Terlebih, impelementasi PP 109/2012 saat ini pun sudah cukup menekan IHT.

Seperti diketahui, setelah ditolak Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) akhir tahun lalu, Kementerian Kesehatan akan kembali mengajukan revisi 

Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko – PMK) Agus Suprapto.

“Sudah dikembalikan dari Setneg tahun lalu, jadi akan mulai dari nol lagi. Sekarang sedang ada di Kemenkes untuk diajukan kembali izin prakarsanya,” ujar Agus kepada wartawan belum lama ini.

Sebelumnya Kemenkes telah mengajukan izin prakarsa pada Mei 2021, kemudian digelar rapat klarifikasi oleh Kemensetneg pada Juni 2021. Pada November 2021 izin prakarsa dari Kemenkes dikembalikan sebab proses revisi PP 109/2012 perlu dilakukan pengkajian lebih komprehensif bersama kementerian/lembaga terkait serta melibatkan partisipasi publik.

Sayangnya, Agus enggan memberi penjelasan lebih detil kapan rancangan beleid ini ditargetkan kembali diserahkan ke Kemensetneg. Yang jelas ada beberapa poin anyar yang akan dijangkau PP 109/2012 jika kelak sah.

“Ada lima poin utama. Pertama adalah pembesaran pictorial health warning (PHW) dari 40% menjadi 90%, kemudian larangan penjualan rokok eceran, ketiga pengaturan iklan di media sosial (digital), kemudian pengaturan rokok elektronik, dan terakhir terkait pengawasan,” sambungnya.

Sementara Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) upaya Kemenko -PMK menggelar uji publik terkait Perubahan PP Nomer 109 Tahun 2012 cukup mengagetkan dan terkesan dipaksakan.

“Gappri dengan tegas menolak perubahan PP 109/2012. Pasalnya, kami melihat PP 109/2012 yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan,” ujar Henry Najoan dikutip dalam siaran pers resmi Gappri. 

Henry Najoan beralasan, jika tujuan perubahan PP 109/2012 untuk menurunkan prevalensi perokok pada anak dan remaja dengan indikator prevalensi, seharusnya tidak perlu dilakukan mengingat data resmi pemerintah menunjukkan angka prevalensi sudah turun jauh bahkan sudah turun dari target pada 2024. 

Henry Najoan menyebutkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional KOR (SUSENAS KOR) yang menyatakan bahwa prevalensi perokok anak terus menurun. Dari 9,1 persen di tahun 2018, turun menjadi 3,87 persen di tahun 2019, turun lagi di tahun 2020 menjadi 3,81 persen, bahkan tinggal 3,69 persen di tahun 2021.

Melansir catatan Kementerian Keuangan, produktivitas rokok terus menurun sejak 2013. Sedikit banyak, PP 109/2012 juga memiliki pengaruh atas penurunan ini. Dengan pengendalian yang lebih eksesif, Budidoyo yakin revisi PP 109/2012 bakal mematikan IHT.