<p>Ilustrasi cukai rokok / Beacukai.go.id</p>
Industri

AMTI Minta Pemerintah Kaji Ulang Kenaikan Tarif Cukai Rokok

  • JAKARTA – Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) berharap pemerintah mengkaji ulang kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2021 yang naik rata-rata sebesar 12,5%. Tidak hanya karena situasi industri rokok yang masih menghadapi krisis akibat COVID-19 dan kenaikan cukai 2020. Melainkan juga karena efek domino yang ditimbulkan dari kebijakan CHT tersebut. Salah satunya ancaman peredaran rokok […]

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) berharap pemerintah mengkaji ulang kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2021 yang naik rata-rata sebesar 12,5%.

Tidak hanya karena situasi industri rokok yang masih menghadapi krisis akibat COVID-19 dan kenaikan cukai 2020. Melainkan juga karena efek domino yang ditimbulkan dari kebijakan CHT tersebut. Salah satunya ancaman peredaran rokok ilegal seiring dengan tingginya harga rokok.

“Sejauh ini kami lihat yang jadi pertimbangan adalah peredaran rokok ilegal. Mungkin pemerintah bisa tinjau ulang kebijakan ini,” kata Ketua Departemen Media Center AMTI Hananto Wibisono dalam diskusi virtual, Senin, 14 Desember 2020.

Kendati Hananto sadar betul pemerintah telah mengkaji secara mendalam kebijakan ini, ia tetap berharap peredaran rokok ilegal jangan sampai mencapai dua digit. Saat ini saja, kenaikan CHT 23% menyebabkan jumlah penindakan rokok ilegal menjadi sebanyak 8.155 kali.

Jumlah ini berkisar 4,86% atau melonjak 41,23% dibandingkan dengan 2019 yang hanya 3%, atau rerata penindakan saat ini berkisar 25 tangkapan per hari. Hingga 30 November 2020, sejumlah penindakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah mengumpulkan 234,5 juta batang rokok ilegal.

Selain mempertimbangkan rokok ilegal, Hananto juga mengingatkan bahwa industri hasil tembakau memilki banyak sektor pendukung yang harus dipikirkan, seperti misalnya di sektor pertanian.

Efek Domino Kenaikan Cukai Rokok

Sebagai gambaran, tahun ini saja, produksi rokok diprediksi terkontraksi sekitar 15-16%. Jika dikonversikan secara kasar, kontraksi 16% tersebut setara dengan 50 miliar batang rokok yang tidak diproduksi.

Apabila 1 batang rokok ekuivalen dengan 1 gram tembakau, berarti ada 50.000 ton tembakau yang tidak terserap. Jadi kalau di Indonesia ada sekitar 200.000 hektar lahan tembakau, maka 50.000 hektarnya tidak terserap.

“Jadi sangat berantai efeknya itu kebijakan dari hulu sampai ke hilirnya,” tambah dia.

Tak hanya itu, harapan agar pemerintah mengkaji ulang kenaikan CHT 2021 juga disulut oleh landasan kebijakan yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Di sana, tertuang sejumlah amant untuk menekan prevalensi perokok baik dewasa maupun anak.

Imbasnya, restriktrifnya regulasi di IHT justru tidak memberikan keseimbangan antara pengendalian konsumsi dengan keberlangsungan industri. Sebaliknya, Hananto merasa industri rokok sengaja ‘dimatikan’ secara tidak langsung.

“Bukan berarti kami minta dibela terus, kalau nanti harus mati ya biar mati sendiri, jangan dimati-matiin.”

Lebih lanjut, bagi Hananto, perumusan RPJMN dilakukan pada saat pandemi COVID-19 belum menjadi momok yang menakutkan seluruh dunia. Dengan demikian, ada baiknya pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan yang relevan dengan kondisi saat ini.