Ilustrasi uang rupiah (Foto:EmAji/Pixabay)
Nasional

Analis: Depresiasi Rupiah Terjadi karena Sentimen, Bukan Fundamental

  • "Dalam hal ini, sebenarnya depresiasi rupiah terjadi karena faktor fundamental. Ini karena The Federal Reserve (The Fed) menaikan suku bunga Fed Fund Rate sangat agresif," ujar Ryan kepada TrenAsia, Jumat, 21 Oktober 2022.

Nasional

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Ekonom dan Co-founder serta Dewan Pakar Institute of Social, Economic, and Digital (ISED) Ryan Kiryanto menilai bahwa depresiasi rupiah yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir ini terjadi karena faktor sentimen dan tidak bersifat fundamental.

"Dalam hal ini, sebenarnya depresiasi rupiah terjadi karena faktor fundamental. Ini karena The Federal Reserve (The Fed) menaikan suku bunga Fed Fund Rate sangat agresif," ujar Ryan kepada TrenAsia, Jumat, 21 Oktober 2022.

Ryan mengemukakan, melemahnya rupiah yang terjadi secara tajam akhir-akhir ini adalah suatu anomali. Pasalnya, fundamental ekonomi Indonesia justru relatif lebih baik dibandingkan AS.

Namun, faktor sentimen global pada gilirannya membuat rupiah dan mata uang di negara maju dan berkembang lainnya terkoreksi terhadap dolar AS yang menciptakan fenomena baru bernama "Super Strong US Dollar".

Sementara itu, kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin yang diinisiasi dan diumumkan oleh BI pada hari Kamis, 20 Oktober 2022,  adalah langkah yang dinilai Ryan sebagai keputusan yang tepat untuk menahan pelemahan rupiah .

Menurut Ryan, kenaikan suku bunga ini khususnya dilakukan BI untuk menurunkan ekspetasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi, berkisar 6%-7% pascakenaikan bahan bakar minyak (BBM).

Langkah ini juga dilancarkan untuk memastikan inflasi inti ke depannya kembali ke sasaran 2%-4% lebih awal dari target sebelumnya di semester I-2023.

"Tak kalah penting, keputusan BI tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga dan memperkuat kebijakan upaya menstabilkan pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS agar sesuai dengan nilai fundamentalnya, yakni kinerja perekonomian yang stabil dan terus tumbuh positif," kata Ryan.

Sentimen yang memperkuat dolar AS datang dari ketidakpastian pasar keuangan global karena ekses perang di Ukraina di tengah permintaan ekonomi domestik yang tetap cukup kuat karena konsumsi rumah tangga yang tumbuh stabil di atas 5% secara tahunan dalam tiga kuartal terakhir ini.

Imbal hasil dolar AS pun meningkat tajam karena The Fed juga terus mengerek suku bunga secara agresif sehingga para investor memburu dolar AS sebagai instrumen safe-heaven di saat ketidakpastian global terus meningkat.