Ilustrasi Rokok dalam Asbak (Freepik.com/fabrikasimf)
Nasional

Ancam Dunia Usaha, Menkes Kaji Ulang Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek

  • Henry menilai, kemasan rokok polos tanpa merek ini merugikan dan memperlakukan industri tembakau seolah-olah seperti produsen narkotika.

Nasional

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengaku tengah berdiskusi dengan para pelaku usaha terkait polemik kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai turunan PP Nomor 28 Tahun 2024. Namun tampaknya sejumlah asosiasi usaha berpandangan lain, di mana protes dan penolakan masih bergulir hingga saat ini yang mengisyaratkan belum diakomodirnya masukan pelaku usaha.

Menkes Budi menyampaikan bahwa pihaknya tengah mengkaji kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek bersama mitra bisnis Kemenkes. Pihaknya juga telah mengajak diskusi asosiasi usaha untuk membahas aturan tersebut.

"Ya memang itu sedang dikaji. Kami sedang mengajak diskusi mitra bisnis kita,” ujar Menkes Budi saat menghadiri peluncuran buku biografi berjudul Authorized Biography Sri Mulyani Indrawati NO LIMITS "Reformasi Dengan Hati" di Gedung Dhanapala, Jakarta.

Kendati tengah dikaji Menkes, public hearing resmi Kementerian Kesehatan untuk RPMK terkait produk tembakau tercatat baru dilakukan satu kali. Sejauh ini, tidak ada jadwal resmi yg diumunkan Kemenkes untuk sesi public hearing lanjutan dalam rangka menanggapi masukan-masukan yang disampaikan berbagai pihak.

Sebelumnya, sejumlah perwakilan pelaku usaha, industri, hingga petani dan peritel telah lantang melakukan protes keras terhadap wacana standardisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang dimuat dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan. Aturan ini dinilai akan mengancam keberlangsungan usaha dan masyarakat luas. Bahkan beleid penuh polemik ini turut berdampak signifikan pada risiko koreksi perekonomian nasional dan hilangnya lapangan pekerjaan.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) misalnya, telah mengingatkan pemerintah terkait pasal-pasal yang bermasalah dalam PP 28/2024 dan RPMK. Kedua aturan ini dikhawatirkan dapat menciptakan ketidakstabilan di berbagai sektor terkait, termasuk ritel, pertanian, dan industri kreatif yang bergantung pada ekosistem industri hasil tembakau.

Wakil Ketua Umum Apindo Franky Sibarani menyoroti wacana standardisasi berupa kemasan polos tanpa merek untuk produk tembakau maupun rokok elektronik yang tertuang dalam RPMK, serta ketentuan dalam PP meliputi zonasi larangan penjualan dan iklan hingga aturan batasan tar nikotin yang akan menghantam keberlangsungan industri, pelaku usaha kecil, serta konsumen.

"Kita sudah melakukan berbagai koordinasi dan kajian, di mana sebenarnya aturan-aturan ini cukup memberatkan bagi multi sektor, baik industri, pedagang, petani, dan sebetulnya juga konsumen. Dalam hal ini tentu kita diminta untuk secara aktif memberi masukan dalam konteks dikeluarkannya peraturan menteri turunannya," ujarnya dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.

Menurutnya, yang menjadi masalah besar dari aturan karena dalam proses pembuatan sampai dengan isinya kurang tepat. Di mana dalam merumuskan PP 28/2024 maupun RPMK ini pemerintah tidak melibatkan industri, baik pembina industri maupun pelaku industrinya itu sendiri. Padahal, di saat bersamaan industri saat ini sedang mengalami kondisi yang memprihatinkan.

"Kondisi industri saat ini dalam kondisi terkontraksi, akibat penurunan permintaan pasar baik global maupun lokal. Regulasi yang dibuat jangan sampai mematikan industri tembakau dan sektor-sektor terkait," ucapnya.

Untuk itu, Apindo mendesak agar proses penyusunan dan pelaksanaan PP 28/2024 dan RPMK lebih terbuka dan melibatkan seluruh pihak terdampak secara komprehensif, guna mewujudkan kebijakan yang berimbang dan berbasis bukti (evidence-based policy).

"Kami tidak menolak regulasi, tetapi regulasi ini harus disusun dan diterapkan secara adil dan berimbang, mengingat perkembangan perekonomian terkini serta kompleksitas posisi industri hasil tembakau dalam menopang ekonomi nasional," tegas Franky.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan turut menyuarakan kekhawatirannya terhadap dampak kebijakan yang terlalu ketat dari Kemenkes.

"Rokok ilegal akan semakin menjamur jika regulasi yang diterapkan justru menekan industri formal. Kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang bukanlah solusi efektif untuk menurunkan prevalensi merokok, tetapi hanya akan membuka jalan bagi produk ilegal yang merugikan negara dari segi penerimaan cukai," kata dia.

Henry menilai, kemasan rokok polos tanpa merek ini merugikan dan memperlakukan industri tembakau seolah-olah seperti produsen narkotika. “PP 28/2024, yang mengatur desain dan tulisan pada kemasan rokok terlalu ketat dan merugikan. RPMK yang muncul mendadak ini sangat represif, dengan desain seragam," katanya.