Top-Aces-F-16.jpg
Tekno

Angkatan Udara Swasta Kian Marak, Siapa Mereka Sebenarnya?

  • Draken International baru-baru ini menandatangani kesepakatan untuk membeli 12 F-16 bekas dari Norwegia. Armada ini akan bergabung dengan 12 Fighting Falcon bekas Belanda yang mereka beli sebelumnya

Tekno

Amirudin Zuhri

JAKARTA-Draken International baru-baru ini menandatangani kesepakatan untuk membeli 12 F-16 bekas dari Norwegia. Armada ini akan bergabung dengan 12 Fighting Falcon bekas Belanda yang mereka beli sebelumnya. Mereka akan digunakan Angkatan Udara Swasta itu untuk melatih pilot tempur angkatan udara negara yang membutuhkan.

Tetapi apa itu Angkatan udara swasta? Bagaimana sejarahnya? Apa fungsinya dan bagaimana bisa membeli peralatan militer yang canggih seperti itu.

Pada puncak Perang Dingin baik Angkatan Laut dan Angkatan Udara Amerika memiliki skuadron yang didedikasikan untuk meniru musuh untuk tujuan latihan. 

Semua angkatan udara utama di dunia juga memiliki hal seperti itu. Mereka terbang dengan gaya dan strategi pilot asing, menggunakan pesawat buatan asing atau dalam negeri untuk melakukan dalam simulasi pertempuran. Unit ini dikenal sebagai skuadron aggressor. Mereka diisi pilot dengan jam terbang dan pengalaman tempur tinggi. Di Angkatan Laut Amerika unit ini dikenal sebagai Top Gun.

Namun setelah perang dingin berarkhir skuadron ini semakin berkurang. Angkatan Udara Amerika bahkan membubarkan sejumlah skuadron agressornya meski masih mempertahankan dalam jumlah terbatas. US Navy juga masih mempertahankan Top Gun hingga saat ini.

Tetapi ketika situasi internasional mulai memanas, minat terhadap Adversary Air Support (AAS) atau lebih dikenal sebagai “red air” kembali muncul di dalam NATO dan Amerika. Tetapi karena kemampuan aggressor sudah dikurangi maka militer Amerika beralih ke sektor komersial. Sejak itulah masa keemasan angkatan udara swasta ini dimulai.

Perusahaan pertama menawarkan yang menerbangkan jet asing dalam simulasi pertempuran udara mulai bermunculan sekitar tahun 2000. Dalam dua dekade berikutnya, pasar sektor ini meledak.

Pada tahun 2019, Angkatan Udara Amerika menandatangani kontrak senilai US$6,4 miliar dengan tujuh perusahaan untuk menyediakan peran agressor. 

Salah satu perusahaan yang tertua dan paling mengintimidasi adalah Airborne Tactical Advantage Company (ATAC). Sebuah anak perusahaan dari konglomerat Textron. Untuk waktu yang lama mereka mengandalkan pesawat F-21 Kfir bekas Israel. Sebuah pesawat tempur yang sedikit dimodifikasi berdasarkan Dassault Mirage 5. 

Perusahaan ini juga menerbangkan selusin pemburu Hawker dan beberapa L-39. Pada tahun 2017 perusahaan ini mendapatkan peningkatan kekuatan besar dengan membeli lebih dari 60 pesawat tempur F1 Dassault Mirage dari Angkatan Udara Prancis. 

Dua lusin Mirage F1 juga diterbangkan oleh perusahaan pertahanan terkenal lainnya seperti Draken International. Perusahaan ini juga menerbangkan Atlas Cheetah, A-4, L-159, Mig-21, dan beberapa model lainnya sebelum akhirnya F-16 masuk. Perusahaan ini mengklaim mengoperasikan armada pesawat tempur komersial terbesar di dunia selain dan juga menawarkan layanan transportasi dan pengisian bahan bakar.

Top Aces juga menjadi angkatan udara swasta yang juga sangat mengesankan. Mereka membeli 29 F-16 bekas Israel. Pesawat canggih ini melengkapi armada A-4 Skyhawk dan Dornier Alpha Jet.

Tactical Air Support menjadi Angkatan Udara swasta pertama yang mulai mengoperasikan Sukhoi Su-27 Flanker. Namun mereka telah beralih ke Northrop F-5 dan versi Kanada CF-5D. Saat ini Tactical Air Support memiliki dan mengoperasikan 25 pesawat tempur F-5. Sebagian besar warisan dari platform aggressor Angkatan Laut dan Marinir Amerika. F-5 adalah pesawat agresspr yang telah terbukti dan sebelumnya digunakan oleh Angkatan Udara aMerika dalam peran ini. Perusahaan ini juga menerbangkan A-29 Tuccano.

Yang spektakuler adalah Air USA. Perusahaan ini membeli 46 F/A-18 Hornet Australia pada tahun 2020 untuk melengkapi armada MiG-29, BAE Hawk Mk.67, AlphaJets dan Pilatus PC-9.

Ada banyak perusahaan kecil dengan beberapa L-39, A-4, atau Tucano dalam inventaris mereka. Mereka bersama dengan raksasa yang di atas  menawarkan kemampuan udara-ke-darat untuk latihan. Pesawat yang lebih kecil juga terkadang meniru rudal jelajah atau anti-kapal selama pelatihan angkatan laut, terlibat dalam simulasi peperangan elektronik, atau menawarkan lusinan kemungkinan peran tempur lain yang mungkin dibutuhkan.

Tua tapi Canggih

Meskipun semua perusahaan militer ini kebanyakan mengoperasikan pesawat tua dan bekas mereka sering kali dilengkapi dengan sistem avionik, komunikasi, penargetan, dan peperangan elektronik terbaru 

Sebagai contoh BAE Hawk Mk.67 milik Air USA yang dilengkapi dengan radar AESA, Pod peperangan elektronik ACAP dan IRST. Pesawat juga dilengkapi dengan Joint Helmet Mounted Cueing System dan kemampuan operasi malam hari.

A-4 Skyhawk milik Draken juga sangat mumpuni. Pesawat ini dibeli dari Angkatan Udara Selandia Baru pada tahun 2012 setelah negara tersebut memutuskan untuk mempensiun pesawat itu pada 2001.

A-4 milik Selandia baru tidak seperti Skyhawks lain di dunia. Mereka sudah diupgrade dengan biaya US$300 juta di tahun 1990-an dengan mengambil sejumlah teknologi yang dimiliki F-16. Termasuk radar AN / APG-66, kontrol hands-on throttle and stick (HOTAS) serta kokpit digital.

Lantas bagaimana caranya perusahaan swasta bisa memiliki jet tempur? Di Amerika hal itu memang memungkinkan tetapi sangat rumit. Don Kirlin pendiri dan pemilik Air USA mengatakan mengimpor jet militer asing pertamanya dan L-39 Albatross pada tahun 1994. Dia mengisahkan pada saat melakukannya itu adalah urusan yang sangat kompleks dan berbelit-belit yang penuh dengan jebakan dan tidak diketahui. Dia harus keluar masuk ke banyak lembaga untuk bisa mendapatkan izin membeli pesawat tersebut.Sejak itu ia telah mengulangi proses tersebut puluhan kali dan akhirnya semua menjadi terbiasa.

Yang pasti untuk bisa membeli peralatan militer sebuah perusahaan juga harus memiliki liisensi dari Biro Alkohol Tembakau dan Senjata Api. Saat ini Kirlin memegang delapan lisensi dari lembaga itu yang memungkinkan dia untuk memiliki senapan mesin militer dan meriam, serta ribuan butir amunisi.

Sebelum pembelian Hornet impor Kirlin yang paling aneh bukan hanya satu, tetapi empat MiG-29 Fulcrum. Dia adalah pemilik pribadi pertama jet tempur ini di Amerika Serikat.

Apakah angkatan udara swasta ini bisa dibawa ke medan perang? Sejauh ini kasus seperti itu belum pernah terjadi. Namun pada tahun 2017, Eric Prince, mantan CEO dan pendiri Blackwater menjadi berita utama dengan menawarkan kepada Afghanistan untuk mengganti angkatan udara mereka dengan firma keamanan barunya Lancaster6. Dia mengatakan selain bermacam-macam pesawat pengintai dan transportasi mereka juga menerbangkan jet tempur ringan A-4 Skyhawk dan helikopter Gazelle. Namun Afghanistan tidak setuju dengan tawaran tersebut.

Lebih Murah

Tetapi kenapa angkatan udara sejumlah negara memilih aktor swasta untuk latihan tempur mereka? Kepala eksekutif Draken Internatiuonal Jared Isaacman mengatakan negara memilih menggunakan pelatihan oleh perusahaan swasta karena lebih murah. Menurutnya ada tiga hal penting yang mendorong penghematan biaya.  Ada kesenjangan yang besar antara biaya penerbangan pesawat swasta dan pesawat terbang militer garis depan. 

Pesawat milik Draken di luar F-16 misalnya biaya terbangnya hanya sekitar US$7.000 atau sekitar Rp 100 juta per jam. Itu berarti menghemat US$ 40.000 atau sekitar Rp570 juta perjam penerbangan dibandingkan dengan F-16. Ketika Anda terbang dengan F-35 atau Typhoon biayanya akan mencapai US$80.000 atau sekitar 1,1 miliar per jamnya. Biaya di sini tidak hanya dihitung bahan bakar saja, tetapi semua yang menyangkut pesawat termasuk perawatan.

Kedua bisa menghemat harapan hidup pesawat tempur karena tidak harus digunakan untuk berlatih. Pesawat cukup digunakan ketika misi sungguhan. Terakhir dengan banyakya pilot pesawat tempur Barat hanya mendapatkan sekitar 150 jam waktu penerbangan per tahun dan itu bisa mendapatkan lebih dari perusahaan swasta. (dari berbagai sumber)