<p>Gedung Timah, Gambir, Jakarta. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Korporasi

Anomali Saham TINS di Tengah Geger Korupsi Timah Rp271 Triliun

  • Harga TINS kian mahal setidaknya dalam periode sejak awal tahun, tiga bulan, satu bulan, dan satu minggu terakhir

Korporasi

Ananda Astri Dianka

JAKARTA - Di tengah geger pengungkapan megakorupsi senilai Rp271 triliun, saham PT Timah Tbk (TINS) justru menunjukkan penguatan. 

Meski secara harian fluktuatif, namun harga TINS kian mahal setidaknya dalam periode sejak awal tahun, tiga bulan, satu bulan, dan satu minggu terakhir. Anomalinya, TINS malah mendapat respons positif dari pasar sejak Kejaksaan Agung pertama kali menetapkan tujuh tersangka korupsi di PT Timah pada 16 Februari 2024.

Seiring bertambahnya penetapan tersangka menjadi 16 orang saat ini, saham TINS masih ada di tren penguatan. Sejak awal tahun, harga saham TINS sudah naik 36,43%. 

Lalu dalam tiga bulan terakhir, TINS menguat hingga 40,80%. Lebih kuat lagi, sebulan belakangan bahkan makin mahal 53,04%. Sementara dalam sepekan, harganya tumbuh 8,64%. 

Baca Juga: Mega Korupsi PT Timah (Part 1): 6 Tahun, Pendapatan TINS Capai Rp76,4 T, Tapi Laba Bersihnya Cuma Rp1,2 T

Hanya saja, pada penutupan perdagangan kemarin (3/4), saham TINS terparkir negatif 4,86% ke harga Rp880 selembar. 

Walaupun cenderung menguat, harga saham TINS masih jauh dari harga rekor tertinggi dalam lima tahun yang pernah di level Rp2.540 per unit. 

Babak Belur Kinerja Keuangan

PT Timah memang sedang tidak baik-baik saja, bukan hanya karena skandal megakorupsi tetapi juga kinerja keuangan. 

PT Timah juga melaporkan terjadi peningkatan dalam rasio utang kena bunga terhadap ekuitas (interest bearing debt to equity) pada tahun 2023. Ini disebabkan oleh permasalahan arus kas membuat pinjaman perusahaan melonjak. 

Direktur Utama PT Timah, Ahmad Dani Virsal, menyatakan interest bearing debt perseroan mencapai sekitar Rp3,5 triliun pada tahun 2023, mengalami kenaikan sebesar 26% dari tahun sebelumnya (2022) yang sebesar Rp2,7 triliun. 

“Karena ini mengalami kesulitan cash flow, jadi kita memperbesar pinjaman dan akibatnya juga kita mengalami peningkatan suku bunga dari kegiatan perbankan,” ungkapnya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR, pada Selasa, 2 April 2024. 

Ahmad menambahkan, kenaikan interest bearing debt ini juga dipengaruhi oleh penurunan nilai aset dan ekuitas PT Timah dalam 3 tahun terakhir, yang diakibatkan oleh berkurangnya stok logam timah perusahaan. 

Pada tahun 2021, nilai aset PT Timah mencapai Rp14,6 triliun, kemudian menurun menjadi Rp13 triliun pada tahun 2022, lalu turun menjadi Rp12,85 triliun pada tahun 2023. 

“Stok kita juga berkurang dan nilai stok logam kita juga berkurang, jadi memang dari sisi aset di 2023 itu sebesar Rp12,85 triliun turun 1,6% dibandingkan posisi akhir tahun 2022,” papar Ahmad. 

Baca Juga: Profil PT Timah, Perusahaan yang Diguncang Megakorupsi Rp271 Triliun

Rugi 2023 

Sementara itu, PT Timah mengalami rugi bersih sebesar Rp449,69 miliar di tahun 2023. Penurunan ini disebabkan oleh pendapatan yang anjlok sebesar 32,88% menjadi Rp8,39 triliun. 

Penurunan volume penjualan logam timah sebesar 6.420 metrik ton dan penurunan harga jual rerata logam timah sebesar U$D 4.891 per metrik ton dari tahun 2022 juga berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan. 

Perseroan mencatat liabilitas sebesar Rp6,6 triliun di tahun 2024, mengalami kenaikan sebesar 9,7% dari posisi akhir tahun 2022 sebesar Rp6 triliun. Selain itu, pinjaman bank dan utang obligasi pada akhir tahun 2023 mencapai Rp3,5 triliun, naik dari sebelumnya sebesar Rp2,8 triliun. 

Baca Juga: Profil 3 Eks Direksi PT Timah yang Jadi Tersangka Korupsi

Pendapatan Melorot 

Ahmad Dani Virsal, mengungkapkan penyebab penurunan pendapatan perseroan dalam 3 tahun terakhir, salah satunya yaitu akibat penurunan produksi timah perseroan. 

Ahmad menjelaskan, produksi bijih timah pada tahun 2023 hanya mencapai 14,85 ribu ton, turun 26% dari 20 ribu ton pada tahun 2022. Capaian tahun 2022 juga anjlok dari 24,67 ribu ton pada tahun 2021. 

Begitu pula dengan produksi logam timah (ingot) pada tahun 2023 sebesar 15,3 ribu metrik ton, turun 23% dari 19,8 ribu metrik ton pada tahun 2022, yang juga mengalami penurunan dari produksi tahun 2021 sebesar 26,4 ribu metrik ton. 

Ahmad menjelaskan, penjualan logam juga mengalami penurunan dalam 3 tahun terakhir, diperparah karena harga jual rata-rata logam turun yang saat ini berada di level U$D26.500, sehingga berimbas pada pendapatan. 

PT Timah mencatat penurunan pendapatan yang konsisten, dari Rp14,6 triliun pada tahun 2021, turun sekitar Rp12,5 triliun di tahun 2022, dan anjlok lagi 33% menjadi Rp8,3 triliun di tahun 2023.