Antara Luhut, Erick Thohir, dan Bisnis Tes PCR hingga Alkes Holding BUMN Farmasi
- Nama dua menteri yang tercatut dalam dugaan bisnis tes PCR baru-baru ini yaitu Menteri Koodrinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Nasional
JAKARTA - Publik Indonesia dihebohkan dengan isu keterkaitan dua menteri Joko Widodo dalam bisnis alat pemeriksaan COVID-19 atau Rapid Test polymerase chain reaction (RT-PCR) di masa pandemi COVID-19 baru-baru ini.
Nama dua menteri yang tercatut dalam sebuah laporan baru-baru ini yaitu Menteri Koodrinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Melalui dua perusahaannya, yaitu PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtra, anak PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA), Luhut disebut-sebut ikut mendirikan PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI), laboratorium yang fokus pada jasa pemeriksaan PCR.
Sementara itu, Erick dikaitkan dengan Yayasan Adaro Bangun Negeri yang dibentuk oleh PT Adaro Energy Tbk (ADRO) pimpinan saudaranya, Garibaldi ‘Boy’ Thohir.
- Laba Bersih Adira Finance (ADMF) Turun 7,5 Persen Jadi Rp753 Miliar pada Kuartal III-2021
- Tingkatkan Hubungan Dagang, Indonesia-Mesir Tandatangani MOU Kendaraan Roda Empat Senilai Rp285 Miliar
- Vidio Dot Com Disuntik Rp2,13 T oleh Concentricity, Kepemilikan SCMA Terdilusi 16,67 Persen
Perusahaan Luhut dan yayasan inilah yang kemudian mendirikan perusahaan patungan GSI yang laboratoriumnya tersebar di beberapa kota. Sejauh ini, GSI disebut telah melakukan pemeriksaan PCR dengan porsi 2,5% dari total pemeriksaan nasional.
Sisanya, dilakukan oleh beberapa laboratorium, seperti Quicktest, Bumame, FastLab, dan terutama oleh Holding BUMN Farmasi sebagai pemain terdepan.
Ditopang Bisnis PCR
Holding BUMN Farmasi beranggotakan PT Kimia Farma (Persero) Tbk (KAEF) dan PT Indofarma (Persero) Tbk (INAF) dengan induknya adalah PT Bio Farma (Persero).
Penggabungan ketiga perusahaan pelat merah ini menjadikannya perusahaan farmasi terbesar di Indonesia,dengan 13 pabrik, 78 jaringan distribusi, dan 1.300 jaringan apotek serta 560 laboratorium klinik
Yang menarik bahwa hampir pendapatan ketiga perusahaan ini ditopang sepenuhnya oleh bisnis PCR dan alat kesehatan (alkes).
- Apa Masalah Utama Garuda Indonesia hingga Terancam Bangkrut? Bekas Komisaris, Peter F. Gontha Buka Suara
- Garuda Indonesia Terancam Bangkrut, Chairul Tanjung Berpotensi Merugi Rp19,7 Triliun
- Cara Membuat Akun WhatsApp Seolah Tidak Aktif untuk Cegah Kejahatan
Pada semester pertama tahun ini, Bio Farma mencatatkan penjualan PCR sebesar Rp283 miliar dari total pendapatan sebesar Rp5,79 triliun dengan laba operasi Rp386 miliar.
Pendapatan dari penjualan PCR Bio Farma mencapai sekitar 68,8% dari total penjualan ke sektor swasta yang mencapai Rp431 miliar atau 105% dari target sebesar Rp411 miliar.
Perlu diketahui bahwa Bio Farma mulai meluncurkan alat pemeriksaan PCR pada semester I-2020. Nama produk PCR Bio Farma adalah M-BioCov. Produk ini laku keras di pasaran seiring komitmen pemerintah mempercepat pemeriksaan PCR dan vaksin.
Selain meluncurkan M-BioCov, Bio Farma juga meluncurkan inovasi terbaru yaitu, Bio Saliva yang melengkapi alat sebelumnya. Produk ini merupakan alat uji untuk mendeteksi COVID-19 dengan metode kumur yang sudah mengantongi izin edar sejak 1 April 2021.
Hingga akhir tahun ini, Bio Farma menargetkan produksi 500.000 kit tes PCR kumur Bio Saliva yang diproduksi bekerja sama dengan perusahaan bioteknologi Nusantics.
Dengan asumsi harga per kit PCR Rp799.000 per Juli 2021, maka estimasi pendapatan dari produk tersebut bisa mencapai Rp399,5 miliar.
Sementara itu, pendapatan Indofarma dari penjualan alat kesehatan (alkes), diagnostik dan lainnya mencapai Rp564,01 miliar per kuartal III-2021.
Nilai penjualan ini melonjak tajam dari Rp286,75 miliar tahun lalu, yang berkontribusi cukup besar terhadap penjualan bersih perseroan menjadi Rp1,50 triliun pada triwulan III-2021.
Nilai penjualan ini melonjak 99,91% year-on-year (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp749,26 miliar.
Penjualan Obat
Selain alkes, perusahaan juga mencatat pendapatan dari penjualan obat ethical pada pasar domestik sebesar Rp904,86 miliar, naik dua kali lipat dari Rp440,77 miliar tahun lalu.
Pendapatan obat over the counter (tidak membutuhkan resep dokter) tercatat sekitar Rp22,24 miliar. Meski terlihat kecil, pertumbuhan pendapatan pada pos ini jadi yang paling tinggi secara tahunan dibandingkan dengan tahun lalu Rp8,36 miliar.
Dengan peningkatan penjualan sembilan bulan tahun ini, laba bersih perusahaan mencapai Rp2,82 miliar, atau berbalik untung setelah merugi Rp18,88 miliar tahun lalu.
Harga tes PCR Indofarma pernah mencapai Rp750.000 pada Oktober 2020. Saat ini harganya sudah turun di bawah Rp300.000 sesuai anjuran pemerintah.
Selanjutnya, untuk Kimia Farma, juga mengambil keuntungan dari bisnis PCR, klinik dan laboratorium serta penjualan alkesnya.
Selama enam bulan pertama tahun ini, perusahaan mencatat penjualan mencapai Rp5,55 triliun, atau naik 18,57% dari tahun lalu sebesar Rp4,68 triliun.
Kenaikan penjualan ini mendorong laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai Rp57,6 miliar pada semester I-2021.
Penjualan lokal perusahaan tercatat mencapai Rp5,46 triliun, sedangkan penjualan ke luar negeri sebesar Rp91,49 miliar, menurun dari tahun lalu sebesar Rp120,83 miliar.
Untuk penjualan obat dan alkes ke luar negeri mencapai Rp3,28 miliar. Sementara penjualan produk pihak ketiga berupa alkes, jasa klinik, laboratorium klinik dan lain-lain mencapai Rp1 triliun, naik dari tahun lalu Rp773,69 miliar.
- CMO Gojek Ainul Yaqin Berlabuh Jadi Direksi Unilever Indonesia (UNVR)
- Kapasitas Mal Jakarta Dibuka 100 Persen, Sentimen Positif Bagi PWON dan SMRA
- Penjualan Hunian Merosot, Pendapatan Lippo Cikarang Anjlok Jadi Rp1,18 Triliun
Tahun ini, Kimia Farma juga mulai menjual vaksin dari pihak ketiga dengan total penjualan senilai Rp402,96 miliar. Tahun lalu, perseroan belum melakukan penjualan vaksin.
Adapun, total penjualan produk pihak ketiga mencapai Rp4,13 triliun, naik dari tahun lalu sebesar Rp3,08 triliun yang meliputi penjualan vaksin, obat generic, obat OTC, alkes, jasa klinik, lab dan lain-lain.
Sementara, penjualan produk milik perusahaan berupa obat generik sebesar Rp768,92 miliar, obat ethical, lisensi dan narkotika Rp278,45 miliar, obat over the counter (OTC) dan kosmetik Rp155,15 miliar, pil KB, alkes dan lain-lain Rp118,32 miliar, naik dari tahun lalu yang hanya sebesar Rp7,69 miliar.
Selanjutnya, untuk penjualan bahan baku berupa minyak nabati, yodium, dan kina sebesar Rp99,03 miliar, turun dari tahun lalu sebesar Rp177,93 miliar.
Total penjualan produk perusahaan sebesar Rp1,41 triliun turun tipis dari tahun lalu sebesar Rp1,6 triliun.
Dalam penjualan produknya, Kimia Farma juga melakukan penjualan ke pihak berelasi sebesar Rp971,56 miliar, atau 17,48% dari total penjualan.
Penjualan tersebut antara lain ke PT Bio Farma, BPJS Kesehatan, PT Rajawali Nusindo, PT PLN, PT Angkasa Pura II, PT Pertamina, PT Kereta Api Indonesia, dan masih banyak lainnya.
Secara total, entitas melakukan penjualan produknya ke 20 mitra yang umumnya merupakan perusahaan negara.
Sementara itu, perusahaan melakukan pembelian produk dari Bio Farma sebesar Rp56,58 miliar, Indofarma Global Medika Rp2,66 miliar, PT Rajawali Nusindo Rp990,58 juta dan pihak lainnya yang tak disebutkan sebesar Rp10,16 miliar. Total pembelian perusahaan ke pihak berelasi Rp70,40 miliar.
Tidak disebutkan secara khusus berapa penjualan alat PCR yang juga telah menjadi ladang bisnis perseroan selama pandemi.
Namun, Kimia Farma telah menjadi perusahaan terdepan yang melayani pemeriksaan PCR, termasuk juga tes antigen yang sempat tersandung kasus malapraktik baru-baru ini.
Harga tes PCR Kimia Farma pernah dibanderol sebesar Rp900.000 pada awal pandemi, kemudian turun menjadi Rp500.000 dan terakhir sebesar Rp275.000.