<p>Direktur Kepatuhan PT. AXA Mandiri Financial Services (AXA Mandiri) Rudy Kamdani (kiri) menyaksikan pembagian daging kurban di kampung Pemulung Pelangi, Cipete Utara, Jakarta Selatan, Jumat, 31 Juli 2020. Penyerahan hewan kurban ini ditujukan kepada masyarakat pengepul barang bekas di Kampung Pemulung Pelangi dalam memperingati Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah. Program ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan AXA Mandiri sebagai bagian dari Mandiri Group dalam program Mandirian Cinta Indonesia sebagai wujud kepedulian perusahaan terhadap masyarakat terdampak pandemi Covid-19. Kegiatan di lebaran haji kali ini memiliki semangat untuk berbagi dalam menjalin kerukunan, mempererat tali persaudaraan, serta saling bertoleransi bersama masyarakat sekitar. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Rumah & Keluarga

Apa Hukum Orang yang Menjual Daging Kurban?

  • Sebagian kalangan masih belum memiliki pemahaman yang jelas soal hukum orang yang menjual daging kurban.
Rumah & Keluarga
Chrisna Chanis Cara

Chrisna Chanis Cara

Author

JAKARTA—Sebagian kalangan masih belum memiliki pemahaman yang jelas soal hukum orang yang menjual daging kurban. Kurangnya informasi membuat hal tersebut berpotensi mengundang polemik di kalangan masyarakat. Lalu apa hukum orang yang menjual daging kurban pada Iduladha?

Dalam Islam, ada pemahaman orang yang berkurban dilarang untuk menjual daging kurbannya. Hal ini lantaran filosofi kurban adalah untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta, bukan karena motif finansial dan sejenisnya. Dikutip dari NU Online, Jumat 30 Juni 2023, orang yang berkurban tapi menjual dagingnya tidak akan menjadi kurban, melainkan hewan sembelihan biasa.

Selain daging, bagian lain yang dilarang dijual termasuk kulit dan kepala hewan kurban. “Hewan yang disembelih pada hari raya kurban hanya menjadi sembelihan biasa, orang yang berkurban tidak mendapat fadlilah pahala berkurban sebagaimana sabda Rasulullah SAW,” tulis NU Online.

HR Hakim dalam kitab Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, juz 6, halaman 121 menyebutkan “Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya, maka tidak ada kurban bagi dirinya”. Artinya orang yang berkurban tidak mendapat pahala yang dijanjikan atas pengorbanannya.

Di sisi lain, Mazhab Hanafi membolehkan penjualan daging atau kulit kurban oleh orang yang berkurban. Meski demikian, hasil penjualannya wajib disedekahkan atau dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangganya. Hal ini disebutkan oleh Taqiyuddin Al-Hushni Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar. 

Penerima Kurban Boleh Menjual Daging?

Lalu bagaimana hukumnya jika yang menjual adalah penerima daging kurban? Daging kurban yang sudah diberikan merupakan hak milik mutlak bagi penerima. Oleh karena itu, penerima berhak membuat keputusannya seperti mengonsumsi, diberikan kembali atau dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Namun demikian, hanya orang miskin yang boleh menjual daging kurbannya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Habib Abdurrahman Ba'alawi dalam kitab At-Tuhfah dan An-Nihayah (Bughyatul Mustarsyidin halaman 423). Kutipannya sebagai berikut “Bagi orang fakir boleh menggunakan (tasharruf) daging kurban yang ia terima meskipun untuk semisal menjualnya kepada pembeli, karena itu sudah menjadi miliknya atas barang yang ia terima.” 

“Berbeda dengan orang kaya. Ia tidak boleh melakukan semisal menjualnya, namun hanya boleh mentasharufkan pada daging yang telah dihadiahkan kepada dia untuk semacam dimakan, dijadikan sajian tamu meskipun kepada tamu orang kaya. Karena misinya, dia orang kaya mempunyai posisi seperti orang yang berkurban pada dirinya sendiri,” imbuh kutipan dari kitab tersebut.