apem.jpg
Destinasi & Kuliner

Apem, Kue yang Mampu 'Berbicara' Saat Lebaran

  • Ketika kita bertamu ke sebuah rumah dan ada suguhan apem, maka sesungguhnya pemilik rumah sedang berbicara “mari saling memaafkan saat”.
Destinasi & Kuliner
Muhammad Imam Hatami

Muhammad Imam Hatami

Author

JAKARTA- Bagi sebagian daerah, terutama di Jawa Tengah dan DIY, apem menjadi salah satu makanan khas saat Lebaran. Sebuah makanan yang penuh dengan makna. 

Di Kabupaten Gunungkidul misalnya, hampir setiap rumah membuat apem saat lebaran. Ketika kita bertamu ke sebuah rumah dan ada suguhan apem, maka sesungguhnya pemilik rumah sedang berbicara “mari saling memaafkan saat”.

Apem memang memiliki nilai tersendiri bagi masyarkat Jawa. Bahkan sebelum Ramadan, masyarakat Yogyakarta merayakan tradisi yang kaya akan makna dan nilai-nilai religius, yang dikenal sebagai Apeman. 

Dipimpin oleh permaisuri sultan dan diikuti oleh perempuan dari keluarga keraton, tradisi ini melibatkan pengolahan ratusan kue apem secara tradisional.

Acara ini terjadi pada bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa dan menjadi bagian dari rangkaian tradisi ruwahan, sebuah perayaan sebelum memasuki bulan suci Ramadan. 

Dalam tradisi Apeman, warga membawa ribuan kue apem dalam sebuah parade yang meriah. Selain itu, pertunjukan seni tradisional seperti tarian dan seni lainnya juga ditampilkan oleh penduduk setempat, menambah semarak acara tersebut.

Di Cirebon, tradisi Apeman juga dilakukan dengan makna yang berbeda. Biasanya dilakukan pada bulan Ruwah, tradisi ini melambangkan semangat untuk mengusir Belanda dari bumi Cirebon. Kue apem dalam konteks ini menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan.

Tradisi Apeman, baik di Yogyakarta maupun di Cirebon, merupakan warisan budaya yang sarat dengan makna religius dan sejarah. 

Asal Usul Nama Apem

Kue apem  terbuat dari bahan tepung ketan, gula kelapa, dan ragi. Apem memiliki ciri khas yang berbeda dengan kue lainnya. Kue ini memiliki tekstur yang lembut dan kenyal dengan rasa manis gula kelapa yang khas. 

Terdapat beberapa versi mengenai asal usul nama "Apem". Salah satunya menyatakan bahwa berasal dari kata Arab "afum" yang berarti memohon maaf. Ada yang juga menyebut ‘Apem’ bermakna ‘apuranto’ atau memaafkan. 

Meskipun sudah banyak jenis kue baru yang muncul, kue apem tetap memiliki tempat di hati masyarakat Jawa. Tak heran jika kue ini selalu menjadi primadona saat lebaran tiba.

Versi lain menghubungkannya dengan tokoh Ki Ageng Gribig, keturunan Raja Majapahit. Ki Ageng Gribig dikatakan mendapatkan tiga kue apem dari Mekah dan membagikannya, yang kemudian diadopsi oleh masyarakat dengan membuat kue serupa. 

Juga ada yang menyebutkan  kue apem sudah ada sejak jaman kerajaan Majapahit. Awalnya kue ini hanya dihidangkan pada acara keagamaan seperti upacara adat dan ritual keagamaan. Namun, seiring berjalannya waktu, kue apem juga dihidangkan saat hari raya lebaran dan perayaan-perayaan lainnya.

Meskipun sudah banyak jenis kue baru yang muncul, kue apem tetap memiliki tempat di hati masyarakat Jawa. Tak heran jika kue ini selalu menjadi primadona saat lebaran tiba.

Kue apem yang diolah dalam tradisi ini bukan sekadar hidangan, namun melambangkan simbolisasi yang dalam.  Apem dianggap melambangkan diri kita sendiri, sementara mencelupkannya ke dalam kinca dianggap sebagai simbol kemungkinan terkena musibah.

Oleh karena itu, menyuguhkan apem saat Lebaran tidak sekadar menjadi momen untuk merayakan kebersamaan dan kegembiraan, tetapi juga menjadi ucapan untuk saling memaafkan dan selalu bersyukur. Apem menjadi salah satu kue yang ‘berbicara’ saat Idulfitri tiba.