Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm).jpg
Energi

APREBI Nilai Investasi Industri Biomassa di Gorontalo Turut Atasi Kemiskinan dan Stunting

  • PT BJA telah banyak menyerap tenaga kerja. Dari 1.064 tenaga kerja yang dipekerjakan, 80% adalah warga lokal.

Energi

Debrinata Rizky

JAKARTA - Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI) menilai, industri biomasa merupakan investasi yang bermanfaat bagi masyarakat termasuk untuk mengatasi kemiskinan dan stunting khususnya di Gorontalo. 

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI), Dikki Akhmar mengatakan perhatian pemerintah untuk mengatasi isu-isu negatif yang mengganggu industri biomassa itu karena disatu sisi pemerintah di Gorontalo sedang giat-giatnya mengatasi kemiskinan dan stunting.

Di sisi lain adanya investasi  industri biomassa yang menjadikan salah satu andalan Pemerintah Gorontalo dalam membantu mengatasi masalah kemiskinan dan stunting, dihambat oleh adanya provokasi pemerhati lingkungan FWI yang beranggapan bahwa Industri ini akan merusak lingkungan hidup khususnya kawasan Hutan Gorontalo.

Namun karena adannya terkendala adanya isu-isu yang menghambat tersebut, sehingga perlu membuka komunikasi antara perusahaan biomassa, masyarakat dan pemerhati lingkungan.

“Dari beberapa institusi pemerintah meminta asosiasi untuk membuka komunikasi dengan masyarakat Gorontalo dan pemerhati lingkungan sehubungan dengan adanya isu-isu yang menghambat pembangunan di Gorontalo yakni yang terkait dengan industri biomasa,” kata Dikki Akhmar dalam Forum Group Discussion Nasional di Gorontalo, Sulawesi, dilansir Rabu, 25 September 2024.

Dikki menegaskan, jika ditemukan adanya pelanggaran, tentunya semua pihak termasuk KLHK akan mengambil tindakan. APREBI juga sebagai asosiasi punya kewenangan sesuai  AD/ART nya untuk  menegur anggotanya bila melakukan pelanggaran, akan tetapi APREBI juga dapat memberikan perlindungan kepada anggotanya

Pasalnya kata Dikki, industri ini bukan dibangun dengan biaya yang murah, butuh investasi lebih dari Rp2 triliun. Dengan demikian perusahaan biomassa pasti menjaga keberlangsungan (sustainablity) bisnisnya, dan itu berarti mereka pasti mempertimbangkan keamanan dan perlindungan sosial masyarakat dan perlindungan ekosistem, sebagai syarat terjadinya sustainability.

Kontribusi Biomassa

Terkait kontribusi dari industri biomassa, Dikki mencontohkan PT Biomasa Jaya Abadi (BJA), Perusahaan produsen wood pellet (pellet kayu) di Gorontalo. PT BJA telah banyak menyerap tenaga kerja. Dari 1.064 tenaga kerja yang dipekerjakan, 80% adalah warga lokal. Pekerja lokal yang direkrut, juga dibekali dengan pelatihan.

Bukan hanya itu, lanjut Dikki, pelaku industri ini juga membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP) lebih dari Rp 40 miliar sejak beroperasi hingga  tahun 2024. Dari angka itu, 60% disalurkan ke pemerintah daerah yang selanjutnya akan dibagi 30% ke pemerintah provinsi dan sisanya untuk pemerintah kabupaten dimana industri beroperasi. Perusahaan juga menyalurkan CSR.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Operasional PT Biomasa Jaya Abadi (BJA) Burhanuddin menyebutkan bersama kedua mitranya selaku pemilik hak guna usaha (HGU), PT Inti Global Laksana dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL), PT BJA telah mengucurkan investasi lebih dari Rp 1,7 triliun yakni Rp 1,4 triliun di PT BJA, dan Rp 237,6 miliar di PT BTL serta Rp 107,2 miliar di PT IGL hingga Juni 2024.

“Investasi PT BJA ini berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta menyumbang penerimaan negara dalam dalam bentuk Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) serta menyumbang devisa hasil ekspor paling besar di Gorontalo. Kucuran investasi tersebut ditujukan dalam rangka pembangunan dan operasional pabrik pengolahan wood pellet. Saat ini, PT BJA memiliki izin kapasitas produksi pelet kayu sebesar 900.000 ton per tahun,” kata Burhanuddin.

Data Ekspor Sesuai

Direktur Bina Pengolahan Pemasaran Hasil Hutan (BPPH) Direktorat Jendral Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK Ristianto Pribadi memastikan tidak ada perbedaan data terkait dokumen V-Legal antara Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK) milik KLHK dengan data ekspor PT Biomasa Jaya Abadi (BJA).

Pelaku usaha hasil hutan dengan tujuan ekspor pasti telah memenuhi berbagai sertifikasi dari hulu hingga hilir, termasuk di dalamnya Sertifikasi Verifikasi Legalitas Hasil Hutan (VLHH) dan dokumen V-Legal. 
"Kami pastikan dari KLHK, pelaku usaha di sektor kehutanan saat ini sudah jauh lebih baik. Kalau sudah memenuhi sertifikasi, pasti hutannya lestari dan legal, bukan dari kayu abal-abal," ujar Ristianto.

Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan di Direktorat BPPH Ditjen PHL KLHK Dedi Sarwoko,  menegaskan, ada 9 dokumen V-Legal di 2023 dan 11 dokumen V-Legal hingga akhir agustus 2024 milik PT BJA yang tercatat di SILK KLHK. Untuk data di 2022, Dedi mengaku belum melihatnya secara detail.

"Tapi, kalau PT BJA menyatakan sudah 22 kali ekspor, berarti termasuk data di 2022. Dari sini sudah terkonfirmasi bahwa jumlah ekspor wood pellet PT BJA memang sebanyak itu," ujar Dedi di hadapan jurnalis Gorontalo.

Pernyataan ini sekaligus membantah tudingan yang menyebut PT BJA telah melakukan ekspor wood pellet secara illegal, unreported, dan unregulated. Alasannya, adanya perbedaan data ekspor di SILK KLHK dengan pengakuan PT BJA.

Hingga  akhir Agustus 2024, PT BJA memiliki sebanyak 24 dokumen V-Legal yang telah disetujui dan tercatat dalam website silk.menlhk.go.id dan telah terbit untuk 22 shipment, yakni 2 shipment dengan 4 dokumen v-legal pada tahun 2022, 9 shipment dengan 9 dokumen v-legal pada tahun 2023, dan 11 shipment dengan 11 dokumen v-legal hingga akhir agustus 2024Total volume ekspor mencapai 240.939 ton senilai US$33,2 juta.

Kementerian KLHK juga membantah tudingan bahwa PT BJA melakukan praktik curang karena hanya melaporkan dua jenis kayu alam, yakni Nyatoh dan Jambu-Jambu. Dedi mengatakan, jenis kayu yang dilaporkan dalam dokumen V-Legal pada umumnya memang hanya mencantumkan jenis kayu yang dominan.

Lebih lanjut Ristianto Pribadi memastikan, pelaku usaha hasil hutan dengan tujuan ekspor pasti telah memenuhi berbagai sertifikasi dari hulu hingga hilir, termasuk di dalamnya Sertifikasi Verifikasi Legalitas Hasil Hutan (VLHH) dan dokumen V-Legal.