Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk Arcandra Tahar
Industri

Arcandra Tahar Beberkan Strategi Pembangunan Kilang Minyak

  • Di tengah persaingan utilisasi, kapasitas kilang dan margin dinilai bakal menentukan profitabilitas dari sebuah kilang. Arcandra Tahar, Wakil Menteri
Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Di tengah persaingan utilisasi, kapasitas kilang dan margin dinilai bakal menentukan profitabilitas dari sebuah kilang. Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM periode 2016-2019 menyampaikan, rata rata utilisasi kilang dunia periode 2015-2020 sebesar 80%.

“Artinya dalam setahun, 80 persen kapasitas kilang sudah terpakai untuk menghasilkan produk yang bernilai,” mengutip akun Instagram resmi @arcandra.tahar, Kamis, 22 Juli 2021.

Menurutnya, angka tersebut cukup bagus mengingat banyak faktor yang mempengaruhi utilisasi kilang, seperti tingkat ketersedian (inventory) dari Bahan Bakar Minyak (BBM) di dunia, pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya.

Utilisasi kilang sendiri dihitung berdasarkan berapa volume minyak yang diolah dibandingkan dengan kapasitas kilang. Sementara itu, refinery margin diperoleh dengan menghitung berapa harga produk yang dihasilkan, kemudian dikurangi dengan harga minyak yang menjadi input kilang.

Apabila harga minyak yang diperoleh murah, sementara harga BBM naik atau tetap, maka refinery margin yang dihasilkan besar. Hal ini berlaku sebaliknya.

Arcandra menambahkan, ketidaksinkronan antara harga minyak dengan BBM sebetulnya pernah terjadi pada Mei 2020. Akibatnya, harga BBM lebih murah dari harga minyak atau dengan kata lain refinery margin tercatat negatif.

“Seolah-olah kilang tidak mendapat upah untuk mengolah minyak menjadi BBM,” tambahnya. 

Strategi pembangunan kilang

Ia pun menyebut ada dua strategi agar kilang yang dibangun dapat memberi keuntungan sesuai rencana.

Pertama, lokasi kilang sebaiknya berada di pesisir pantai, digabung dengan petrochemical plant serta dekat dengan kawasan industri. Pemilihan lokasi ini bertujuan agar memudahkan suplai minyak menggunakan transportasi laut.

Di samping itu, hal ini juga dilatarbelakangi oleh produk kilang yang biasa menjadi bahan baku untuk petrochemical plant.

Menurut Arcandra, ongkos perpindahan produk kilang menjadi murah jika jarak antara kilang dengan petrochemical plant berdekatan.

“Inilah yang dinamakan dengan kawasan terintegrasi yang memberikan nilai tambah pada setiap industri,” tambahnya.

Kemudian, strategi kedua adalah sumber energi yang dibutuhkan untuk mengoperasikan kilang berasal dari energi terbarukan.

Seperti diketahui, tekanan untuk menjaga kenaikan suhu bumi kurang dari 2 derajat celcius membuat industri migas harus memutar otak. Ditambah, lembaga-lembaga keuangan dunia berencana menyetop pembiayaan proyek migas yang tak ramah lingkungan. Di sisi lain, dalam dua dekade ke depan produk kilang dan petrochemical masih dibutuhkan oleh dunia.

Oleh karena itu, industri migas diharapkan tetap berpartisipasi lewat penggunaan listrik dari energi terbarukan. Apabila terdapat CO2 yang dihasilkan, teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dapat menjadi solusi agar CO2 tidak dilepas ke udara.

“Dengan cara ini, diharapkan lembaga keuangan dunia masih mau membiayai proyek migas dengan bunga yang lebih kompetitif,” katanya.