<p>Komisaris Perusahaan Gas Negara (PGN), Archandra Tahar. Foto: doc. TrenAsia</p>
Industri

Arcandra Tahar: Kebutuhan Energi Fosil Masih Tinggi, Perlu Transisi Sebelum ke EBT

  • Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar menyebut kebutuhan dunia akan energi fosil masih tinggi, tak terkecuali di Indonesia.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar menyebut kebutuhan dunia akan energi fosil masih tinggi, tak terkecuali di Indonesia.

Seperti diketahui, konsumsi minyak masih mengalami kenaikan hingga 139% pada tahun lalu. Begitu pula dengan gas yang naik sebesar 298%. Secara rinci, produk batu bara tetap mendominasi dengan realisasi terbesar, yakni 38,7% pada 2020.

Kemudian, disusul oleh minyak bumi sebesar 30,5% serta gas bumi 19,5%. Realisasi EBT sendiri baru menyentuh angka 11,3%.

“Perlu sumber energi transisi sebelum beralih sepenuhnya ke Energi Baru Terbarukan (EBT),” mengutip keterangannya dalam akun resmi Instagram @arcandra.tahar, Minggu, 4 Juli 2021.

Transisi Energi
Jaringan Pipa Gas PGN / Dok. PT PGN Tbk

Ia pun menyebut penggunaan hidrogen (H2) dapat menjadi salah satu strategi untuk beralih ke sumber EBT. Menurutnya, selama ini hidrogen kerap digunakan pada industri petrochemical, refinery, solar panel dan industri kaca.

“Hidrogen juga digunakan sebagai alternatif sumber energi atau fuel cells untuk kendaraan listrik,” katanya.

Meskipun demikian, apakah ia termasuk dalam energi yang ramah lingkungan? Arcandra pun menjelaskan beberapa aspek terkait hidrogen. Pertama, diketahui sebagian besar atau 99% dari hidrogen yang diproduksi sekarang ini, berasal dari hydrocarbons.

“Terdapat 71 persen dari hasil pengolahan natural gas menjadi CO2 dan H2,” jelasnya.

Adapun hidrogen yang berasal dari gas alam tersebut bernama Grey Hydrogen. Sedangkan sisanya, diproduksi melalui olahan batu bara lewat teknologi gasifikasi. Proses ini disebut dengan Brown Hydrogen.

Arcandra menambahkan, ada pula sebagian kecil hidrogen yang diproduksi dari natural gas dan dikombinasikan dengan penginjeksian CO2. Hidrogen dengan proses ini dinamakan dengan Blue Hydrogen.

Maka, jika 99% dari hidrogen yang diproduksi saat ini berasal dari hidrokarbon dan ditambah dengan CO2 yang dihasilkan, Green Hydrogen menjadi pilihan teknologi yang ramah lingkungan.

Green hydrogen, terangnya, berasal dari pengolahan air lewat proses elektrolisis dengan menggunakan listrik EBT. Proses ini akan menghasilkan hidrogen yang murni dan zero carbon.

Tantangan Hidrokarbon
Direktur Niaga dan Pelayanan PT PLN (Persero) Bob Saril melakukan simulasi pengisian listrik kendaraan bermotor di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) PLN, di Kantor Pusat PLN, Trunojoyo, Jakarta, Senin, 9 November 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Meskipun demikian, teknologi ini masih memiliki sejumlah tantangan dari sisi biaya produksi yang sangat bergantung pada biaya listrik dan utilisasi dari plant yang dibangun.

Data dari Wood Mackenzie menunjukkan, Green Hydrogen bisa bersaing dengan Grey, Brown, dan Blue Hydrogen apabila biaya listriknya di bawah US$0.03/kWh. Selain itu, plant utilization rate juga mesti di atas 50%.

“Dua hal ini menjadi syarat yang berat untuk dipenuhi saat ini,” ungkap Arcandra. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk membuat teknologi elektrolisis menjadi lebih efisien.

Selain itu, bisa dilakukan dengan menambah penetrasi EBT agar biaya listrik lebih murah. Terakhir, menaikkan carbon pricing bagi industri yang masih menggunakan sumber energi yang menghasilkan karbon.

Tak heran, untuk mengendalikan efek negatif perubahan iklim di dunia, banyak negara yang mencanangkan net-zero gas emission pada 2050.

“Jadi, untuk mencapai tujuan tersebut, banyak hal harus dilakukan, misalnya membuat kebijakan yang ramah lingkungan. Selain itu, mendorong investasi yang berbasis kepada energi terbarukan dan mengembangkan teknologi yang mampu menggantikan sumber energi fosil,” tuturnya. (SKO)