Arcandra Tahar: Program Transisi Energi Dunia Melambat
- Pelarangan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak (BBM) di Inggris yang semula direncanakan mulai berlaku tahun 2030, sekarang mundur ke tahun 2035.
Energi
JAKARTA – Di tengah makin masifnya bencana alam akibat perubahan iklim, pergerakan transisi energi justru melambat.
Komisaris Independen PT PLN (Persero), Arcandra Tahar menyampaikan beberapa perkembangan dan kendala program transisi energi di dunia sampai pertengahan 2024. Arcandra memotret sejumlah progres transisi energi negara maju.
Pertama, Amerika Serikat (AS) yang berkomitmen untuk melakukan transisi energi lewat dekarbonisasi keliatannya sedikit agak melambat. Salah satu program dikarbonisasi ini adalah pengembangan teknologi mesin mobil hemat bahan bakar. Truk-truk yang boros diganti dengan mesin yang lebih irit.
“Perluasan program ini ke sektor selain otomotif tidak secepat yang diharapkan. Dengan inflasi yang masih sangat tinggi di AS, para pengusaha cenderung untuk lebih berhati-hati dalam belanja modal,” tulis Arcandra dalam akun Instagram resmi, Kamis, 18 Juli 2024.
Selain itu program-program pengembangan untuk energi rendah karbon seperti green hydrogen juga mengalami perlambatan. Salah satu sebabnya adalah biaya produksi yang masih sangat mahal dan kemampuan dunia usaha untuk menyerap green hydrogen dengan harga yang terjangkau masih terbatas.
- Baca Juga: Diproyeksi Masih Tinggi, Arcandra Tahar Beberkan Outlook Harga Minyak dan Batu Bara di Tahun Ini
Kedua, Uni Eropa yang berkomitmen untuk melakukan transisi energi lewat diversifikasi usaha juga mengalami perlambatan dalam hal penggunaan kendaraan Listrik (EV) dan program penggunaan pemanas ruangan non-fosil. Energi terbarukan yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan energi di Uni Eropa belum bisa sepenuhnya diandalkan.
Target-target penggunaan energi terbarukan yang lebih luas bisa bertambah mundur apabila dalam pemilihan umum yang akan datang menghasilkan pemimpin yang konservatif. Para pemimpin ini bisa jadi membawa isu krisis energi di Uni Eropa dalam tema-tema kampanye mereka.
“Akibatnya mereka akan cenderung menawarkan program untuk ketahanan energi yang berbasis energi fosil daripada melakukan transisi energi,” komentar mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Periode (2016-2019).
Tidak ketinggalan transisi energi di Inggris yang juga mengalami perubahan target. Pelarangan penjualan kendaraan bermotor berbahan bakar minyak (BBM), yang semula direncanakan mulai berlaku tahun 2030, sekarang mundur ke tahun 2035. Sementara itu pelarangan pembelian gas boiler yang semula direncanakan mulai berlaku tahun 2025 juga mundur menjadi tahun 2035.
Ketiga, China tetap melanjutkan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka. Menurut data yang Arcandra peroleh, ada sekitar 240 GW PLTU baru yang sudah disetujui atau sedang dalam masa konstruksi. Sebagai perbandingan, kapasitas PLTU di Indonesia kurang dari 40 GW.
Dengan bertambahnya kapasitas PLTU di China menyiratkan makna lain dari transisi energi ini. Apakah mungkin China mendapatkan dispensasi untuk tetap menggunakan energi murah dari batu bara sementara negara lain tidak? Apa mungkin juga kita maknai dengan mengatakan PLTU di China telah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi PLTU yang bersih? Kalau kita mau jujur, tentu tidak sulit untuk mencari jawabannya.
- Baca Juga: Arcandra Tahar: Gas Bumi Punya Peran Strategis dalam Proses Transisi ke Energi Terbarukan
Keempat, India yang berencana untuk meningkatkan produksi batu bara mereka menjadi 1500 juta ton di tahun 2030. Ini berarti kenaikan produksi yang sangat signifikan dibandingkan produksi tahun 2022 yang hanya sekitar 900 juta ton. Sebagai perbandingan produksi batu bara Indonesia di tahun 2022 sekitar 680 juta ton.
Dengan peningkatan produksi yang sangat besar ini, dapat dipastikan pembangunan PLTU juga cukup masif di India. Ada sekitar 80 GW PLTU baru yang sudah disetujui atau dalam masa konstruksi.
Kelima, Australia belum berhasil menekan biaya produksi dari green hydrogen untuk skala industri. Dulu biaya produksi dari green hydrogen diperkirakan sekitar US$7/kg ternyata naik menjadi USD 10/ kg. Sebagai perbandingan harga LPG sekitar US$1/kg.
Dengan biaya produksi hydrogen yang jauh lebih mahal daripada perkiraan awal membuat green hydrogen sebagai pengganti energi fosil menjadi tidak kompetitif. Tidak mudah memang membuat hydrogen dari air dengan harga yang murah.
Bagaimana dengan negara lain seperti Vietnam dan Brasil ataupun negara-negara di Timur Tengah menyikapi transisi energi ini? Dapat dipastikan mereka juga menghadapi tantangan yang tidak mudah.
“Kami khawatir, tantangan-tantangan dalam transisi energi ini belum mendapatkan tempat untuk diungkap secara proporsional sehingga banyak negara yang salah dalam menyikapi masa transisi ini.”