PM Nikol Pashinyan
Dunia

Armenia Tinggalkan Rusia dan Bantu Ukraina, Apa Alasannya?

  • Armenia telah menjadi sekutu lama Rusia selama berabad-abad, mulai dari masa penaklukan Kekaisaran Rusia di Kaukasus pada periode 1817-1864. Negara ini juga telah mengandalkan Kremlin untuk keamanannya sejak runtuhnya Uni Soviet.

Dunia

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Armenia mulai berbelok arah dengan meninggalkan Rusia dan mendukung perjuangan Ukraina. Hal ini setelah mereka frustrasi lantaran Rusia ogah-ogahan membantu mereka mengatasi agresi Azerbaijan. 

Armenia diketahui merupakan sekutu lama Rusia. Pernyataan perubahan arah dukungan tentu hal yang mengejutkan. Keputusan ini menciptakan pergeseran signifikan dalam hubungan mereka dengan Rusia, yang sebelumnya telah mendukung Armenia.

Keberpihakan Armenia pada Ukraina berupa pemberian bantuan kemanusiaan merupakan tindakan pertama mereka sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022.

Perubahan ini disebabkan oleh ketidakpuasan Armenia terhadap sikap Rusia yang dianggap tidak mampu atau tidak mau lagi memberikan dukungan terhadap Armenia dalam konflik dengan Azerbaijan.

Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan menyatakan Armenia merasakan pengaruh besar karena bergantung pada Rusia untuk keamanan negaranya. “Arsitektur keamanan Armenia 99,99% terkait dengan Rusia,” ujar Pashinyan pada awal September lalu ke media Italia.

Namun demikian, pihaknya menyadari Rusia saat ini memiliki kebutuhan persenjataan. “Bahkan jika mereka mau, Rusia tidak dapat memenuhi kebutuhan keamanan Armenia,” ujarnya. 

Armenia telah menjadi sekutu lama Rusia selama berabad-abad, mulai dari masa penaklukan Kekaisaran Rusia di Kaukasus pada periode 1817-1864. Negara ini juga telah mengandalkan Kremlin untuk keamanannya sejak runtuhnya Uni Soviet.

Menyikapi tindakan Armenia, pakar kebijakan luar negeri dari American University of Armenia, Vahram Ter-Matevosyan, mengatakan Armenia dan Rusia telah berjarak satu sama lain. Rusia merasa Armenia tidak lagi memiliki loyalitas yang kuat terhadapnya.

Sebelumnya Armenia bahkan bersedia melakukan hampir semua yang diminta Rusia, salah satunya menghentikan upaya berintegrasi dengan Eropa pada tahun 2013. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada langkah signifikan yang diambil Rusia untuk mendukung Armenia.

Kremlin sebelumnya pernah berkomitmen menjamin keamanan Armenia melalui Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (Collective Security Treaty Organization/CSTO). “Rusia gagal memenuhi janjinya, khususnya dalam menjaga keamanan di koridor Lachin. Rusia juga gagal mengirim senjata yang telah dibeli Armenia dari Rusia," ujar Matevosyan.

Selama beberapa tahun terakhir, ketegangan antara Armenia dan Azerbaijan telah meningkat konflik antara kedua negara tersebut. Hal itu dipicu permasalahan terkait wilayah di Pegunungan Kaukasus yang dikenal dengan nama Nagorno-Karabakh. Wilayah ini telah menjadi sumber konflik selama tiga dekade terakhir.

Nagorno-Karabakh secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan. Namun, sebagian penduduk di wilayah tersebut merupakan etnis Armenia. Pada tahun 2020, terjadi konflik selama 44 hari setelah Azerbaijan menyerang Armenia dengan menggunakan drone dan jet tempur F-16 Turki. 

Armenia mengalami kekalahan signifikan dalam serangan tersebut. Akibat konflik itu, sebagian besar wilayah Nagorno-Karabakh kini diklaim Azerbaijan. Meski demikian, konflik ini masih terus berkepanjangan.

Rusia sempat mengusulkan negosiasi kepada kedua negara untuk gencatan senjata. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah pengiriman sekitar 2.000 pasukan penjaga perdamaian Kremlin ke Nagorno-Karabakh untuk menjaga koridor Lachin. Koridor ini memiliki peran penting sebagai satu-satunya jalan yang menghubungkan Rusia dengan Armenia.

Seiring berjalannya waktu, pasukan perdamaian Rusia tidak berhasil mencegah pasukan Azerbaijan dari mendirikan pos pemeriksaan militer di sepanjang koridor Lachin. Selain itu, impor makanan mengalami hambatan sebagai dampak situasi tersebut.