AS Bekukan Rp136,6 Triliun Aset Bank Sentral Afghanistan Pasca Dikuasai Taliban
- Pemerintah AS telah membekukan hampir US$9,5 miliar setara Rp136,6 triliun aset milik bank sentral Afghanistan (Da Afghan Bank/DAB) pada Selasa, 17 Agustus 2021 menyusul gejolak politik yang kian memburuk.
Dunia
JAKARTA -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah membekukan hampir US$9,5 miliar setara Rp136,6 triliun aset milik bank sentral Afghanistan (Da Afghan Bank/DAB) pada Selasa, 17 Agustus 2021. Pembekuan dilakukan menyusul gejolak politik yang kian memburuk di negara itu.
Mengutip laporan Bloomberg, Rabu, 18 Agustus 2021, seorang pejabat pemerintah AS mengatakan, pihaknya juga telah menghentikan pengiriman uang tunai ke Afghanistan sebagai upaya untuk mencegah pemerintah yang dipimpin Taliban mengakses uang tersebut.
Pejabat AS itu mengatakan bahwa aset bank sentral apa pun yang dimiliki pemerintah Afghanistan di AS tidak akan tersedia untuk Taliban. Kelompok itu kini tetap ada dalam daftar sanksi Departemen Keuangan AS.
Penjabat kepala Da Afghan Bank, Ajmal Ahmady, awal pekan ini mengatakan bahwa dia mengetahui pada Jumat lalu bahwa pengiriman dolar akan berhenti ketika AS memblokir segala upaya Taliban untuk mendapatkan akses ke dana tersebut.
- Bagikan Pesan Menyentuh untuk Penggemar, Yeonjun TXT Dipuji Dirjen WHO
- Rakyat Tekor Rp22,78 Triliun, Terbongkar Aliran Dana 3 Terdakwa Kasus ASABRI
- Realisasi Program Sejuta Rumah Capai 515.107 Unit per 30 Juli 2021
DAB memiliki aset senilai US$9,5 miliar, sebagian besar ada di rekening Federal Reserve New York dan lembaga keuangan yang berbasis di AS. Sanksi AS terhadap Taliban berarti mereka tidak dapat mengakses dana apa pun.
Menurut dua sumber Bloomberg, sebagian besar aset DAB saat ini tidak disimpan di Afghanistan. Sementara, Departemen Keuangan AS menolak berkomentar.
Memburuknya situasi di Afghanistan terjadi pasca Taliban mengkudeta pemerintahan Ashraf Ghani dan menguasai ibukota Kabul.
Presiden Ashraf Ghani sendiri telah melarikan diri dari negara itu pada Minggu, 15 Agustus 2021 ketika gerilyawan memasuki kota dengan membawa sejumlah uang tunai.
Kegagalan Kepemimpinan
Di AS, penentang keputusan Presiden Joe Biden untuk mengakhiri perang terpanjang AS yang diluncurkan setelah serangan 11 September 2001, mengatakan kekacauan itu disebabkan oleh kegagalan kepemimpinan.
Biden menghadapi kecaman domestik yang meningkat setelah berpegang pada rencana, yang diprakarsai oleh pendahulunya dari Partai Republik, Donald Trump, untuk mengakhiri misi militer AS di Afghanistan pada 31 Agustus 2021.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Minggu, pemimpin Senat Republik Mitch McConnell menyalahkan Biden atas apa yang disebutnya "kegagalan memalukan kepemimpinan Amerika". "Teroris dan pesaing utama seperti China sedang menyaksikan aib negara adidaya ini," kata McConnell.
Para diplomat Amerika di Kabul diterbangkan dengan helikopter ke bandara dari kedutaan mereka di Distrik Wazir Akbar Khan. Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan hampir semua personel kedutaan, termasuk Duta Besar Ross Wilson bendera AS telah diturunkan dan dipindahkan dari kompleks kedutaan.
Di bandara Kabul, ratusan warga Afghanistan menunggu penerbangan dengan beberapa menyeret koper melintasi landasan pacu dalam gelap sementara wanita dan anak-anak tidur di dekat koridor keamanan.
Sebuah sumber di bandara mengatakan beberapa bentrokan pecah di antara orang-orang yang tidak bisa mendapatkan tempat karena keberangkatan dibatalkan.
Banyak orang Afghanistan khawatir Taliban akan kembali ke praktik keras di masa lalu. Namun para militan berusaha untuk menampilkan wajah yang lebih moderat dan berjanji untuk menghormati hak-hak perempuan dan melindungi baik orang asing maupun warga Afghanistan.
Sementara, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak Taliban dan semua pihak lain untuk menahan diri sepenuhnya, dan menyatakan keprihatinan khusus tentang masa depan perempuan dan anak perempuan di Afghanistan.
Awal pekan ini, pemerintah Indonesia bersiap mengevakuasi puluhan warganya di Afghanistan menyusul situasi yang makin mencekam di negara itu.*