Presiden Suriah, Bashar Al Assad
Dunia

AS, Israel, hingga Turki, Turut Andil Percepat Kejatuhan Assad

  • Salah satu faktor kunci yang mempercepat kejatuhan Bashar al-Assad adalah perubahan sikap dari Iran, yang selama ini merupakan sekutu utama dalam mempertahankan rezim Assad.

Dunia

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Penggulingan Presiden Bashar al-Assad dari kekuasaan di Suriah menandai perubahan besar dalam dinamika perang saudara yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Oposisi Suriah, yang dipimpin oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), berhasil menguasai Damaskus, memaksa Assad melarikan diri ke luar negeri. Peristiwa ini memunculkan berbagai tanggapan internasional, termasuk dari Amerika Serikat, yang menyebutnya sebagai peluang besar sekaligus ancaman baru.

Presiden Joe Biden, dalam pernyataan resminya, menyebut kejatuhan Assad sebagai "kesempatan bersejarah" untuk mengakhiri konflik panjang di Suriah. Namun, ia juga memperingatkan risiko ketidakstabilan yang mungkin muncul akibat perubahan kepemimpinan yang mendadak.

“Hasil dari semua ini, untuk pertama kalinya, baik Rusia maupun Iran atau Hizbullah tidak dapat membela rezim menjijikkan ini di Suriah," ujar Biden dalam keterangan resminya di Washington, dilansir Al Jazeera, Senin, 9 Desember 2024.

Kebijakan AS Pasca Assad

Pemerintahan Presiden Joe Biden menegaskan komitmennya untuk terus mendukung stabilitas di Suriah dan kawasan sekitarnya, meskipun situasi di negara tersebut terus berubah. Amerika Serikat akan terus melindungi negara-negara tetangga Suriah, seperti Yordania, Lebanon, Irak, dan Israel, yang rentan terhadap dampak konflik.

Pasukan AS juga akan tetap ditempatkan di timur laut Suriah bersama Pasukan Demokratik Suriah (SDF), untuk menjaga stabilitas dan mencegah kebangkitan kelompok teroris seperti ISIS. Selain itu, meskipun kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) selama ini dianggap sebagai organisasi teroris, AS berencana untuk mengevaluasi ulang status mereka, dengan mempertimbangkan peran kelompok tersebut dalam dinamika politik yang berkembang di Suriah.

“Jangan salah, beberapa kelompok pemberontak yang menggulingkan Assad memiliki catatan terorisme mereka sendiri yang mengerikan,” tambah Biden.

Dengan sisa masa jabatan pemerintahan Biden yang tinggal enam minggu, banyak keputusan besar yang kemungkinan harus diambil oleh presiden terpilih Donald Trump. Trump diharapkan memiliki pendekatan baru terhadap situasi Suriah yang kini semakin kompleks.

"Anda berbicara tentang pemerintahan yang memiliki waktu enam minggu tersisa, dengan waktu enam minggu tersisa, saya akan mencoba mencegah dan menjaga terhadap potensi komplikasi atau bencana," ujar Biden.

Salah satu tantangan terbesar adalah potensi eskalasi konflik antara SDF yang didukung AS dan Tentara Nasional Suriah (SNA) yang mendapat dukungan dari Turki. Konflik antara kedua kelompok ini dapat memperburuk ketegangan di wilayah tersebut, meskipun Assad telah jatuh.

Kebijakan Amerika Serikat terhadap Suriah selama perang saudara kerap dianggap tidak konsisten. Program CIA yang memberikan dukungan kepada oposisi pada masa-masa awal konflik banyak menuai kritik karena dinilai tidak efektif. Pergantian pemerintahan di Washington juga sering membawa perubahan arah kebijakan, yang berkontribusi pada ketidakpastian dalam upaya perdamaian di Suriah.

Momentum dan Dukungan Pada HTS

Keberhasilan serbuan tentara pemberontak HTS atas kota Damaskus pada tanggal 8 Desember 2024, menandai berakhirnya lima dekade pemerintahan keluarga Assad yang telah mendominasi Suriah, dan menunjukkan bahwa kekuatan oposisi, yang didukung oleh beberapa negara besar, akhirnya berhasil menggulingkan rezim yang telah bertahan meskipun mengalami berbagai tekanan internasional dan domestik.

Laman media Financial Times menyebut, perkembangan konflik internasional seperti konflik Israel - Palestina, Konflik Ukraina - Rusia, dan beberapa kebijakan Turkiye serta negara Barat, diyakini memainkan peran penting dalam kemenangan oposisi. 

Negara-negara konflik tersebut memberikan momentum bagi pemberontak untuk meraih kemenangan, selain itu Turki serta negara barat diyakini memberikan bantuan baik berupa pasokan senjata, pelatihan militer, maupun dukungan politik kepada kelompok-kelompok oposisi.

Israel dan Turki, yang memiliki kepentingan strategis di Suriah, berperan aktif dalam mendukung gerakan oposisi sebagai bagian dari kebijakan luar negeri mereka untuk melemahkan pengaruh Iran dan Rusia di kawasan tersebut. Selain itu, Ukraina yang tengah terlibat dalam konflik dengan Rusia juga menunjukkan minat untuk memperburuk posisi Rusia di Suriah dengan mendukung pihak oposisi.

Namun, salah satu faktor kunci yang mempercepat kejatuhan Bashar al-Assad adalah perubahan sikap dari Iran, yang selama ini merupakan sekutu utama dalam mempertahankan rezim Assad. Menurut laporan Financial Times, kekecewaan Iran terhadap al-Assad karena sejumlah kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan mereka menyebabkan Iran menarik dukungannya. 

Hal ini menggerogoti salah satu pilar utama yang selama ini menjaga stabilitas rezim Assad, yakni aliansi dengan Iran dan Rusia. Tanpa dukungan dari dua kekuatan besar ini, yang sebelumnya menjadi garda terdepan dalam membantu Assad selama perang saudara, rezim Assad akhirnya runtuh di hadapan serangan oposisi yang semakin kuat.

Jatuhnya Assad memberikan harapan baru bagi sebagian pihak, tetapi juga memunculkan kekhawatiran akan kekosongan kekuasaan yang dapat dimanfaatkan oleh kelompok radikal.