
AS Keluar dari Perjanjian Paris, Bahlil Akui Indonesia Dilematis Ikuti Irama Gendang
- Dengan mundurnya AS, yang merupakan inisiator utama perjanjian ini, muncul ketidakpastian besar dalam pendanaan proyek Just Energy Transition Partnership (JETP). JETP sebelumnya diharapkan menjadi sumber utama pendanaan bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk beralih dari energi fosil ke EBT.
Energi
JAKARTA - Setelah Amerika Serikat (AS) resmi mundur dari Paris Agreement, Indonesia menghadapi dilema dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa langkah AS tersebut menempatkan Indonesia dalam posisi sulit, terutama dalam mendapatkan pendanaan untuk proyek energi hijau di dalam negeri.
“Saya jujur mengatakan, sebenarnya kita pada posisi yang sangat dilematis untuk mengikuti (irama) gendang," jelas Bahlil dalam keterangan resmi, di Jakarta Kamis, 30 November 2024.
Paris Agreement merupakan kesepakatan internasional tentang perubahan iklim yang diadopsi pada COP21 di Paris pada tanggal 12 Desember 2015 dan mulai berlaku pada tanggal 4 November 2016.
Perjanjian ini diadakan untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 2°C, dengan target dapat membatasi hingga 1,5°C, meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, serta menyediakan pendanaan bagi negara berkembang sebesar US$100 miliar atau sekitar Rp1600 triliun (kurs Rp16.000)per tahun.
- American Airlines dan Helikopter Black Hawk Tabrakan di Udara
- Prediksi OJK Soal Pertumbuhan Kredit Perbankan di 2025
- Apa Itu Maha Kumbh Mela, Ritual yang Tewaskan Puluhan Orang di India
Paris Agreement menjadi dasar komitmen global dalam transisi menuju energi hijau, dengan dukungan kuat dari lembaga keuangan dunia untuk proyek energi terbarukan.
Namun, dengan mundurnya AS, yang merupakan inisiator utama perjanjian ini, muncul ketidakpastian besar dalam pendanaan proyek Just Energy Transition Partnership (JETP). JETP sebelumnya diharapkan menjadi sumber utama pendanaan bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk beralih dari energi fosil ke EBT.
"Engkau (AS) yang memulai, tetapi engkau (AS) juga yang mengakhiri,” tambah Bahlil.
Indonesia Hadapi Tantangan Besar
Biaya pengembangan EBT masih jauh lebih tinggi dibandingkan energi fosil, sementara kondisi ekonomi Indonesia tidak sekuat negara-negara maju seperti anggota G7. Ketidakpastian pendanaan dari lembaga keuangan internasional menurut Bahlil semakin memperberat beban negara.
“Yang membuat ketidakpastian ini salah satu di antaranya adalah dinamika politik global. Paris Agreement ini kan merupakan konsensus global, kita dipaksa untuk mengikuti itu, padahal baseline yang kita punya tidak sebaik mereka, negara-negara G7 tersebut,” jelas Bahlil.
Semakin tidak pastinya dukungan internasional, membuat pemerintah Indonesia tengah menghitung ulang strategi energi nasional. Sejumlah opsi dipertimbangkan, termasuk pemanfaatan energi fosil yang lebih efisien sambil tetap mengembangkan EBT secara bertahap.
- American Airlines dan Helikopter Black Hawk Tabrakan di Udara
- Prediksi OJK Soal Pertumbuhan Kredit Perbankan di 2025
- Apa Itu Maha Kumbh Mela, Ritual yang Tewaskan Puluhan Orang di India
Namun, Indonesia tetap berkomitmen untuk menjaga kualitas udara dan mengurangi emisi karbon. Pemerintah memastikan bahwa transisi energi tidak akan dihentikan, meskipun dilakukan dengan pendekatan yang lebih realistis dan sesuai dengan kondisi ekonomi nasional.
“Kita jangan sampai terjebak. Makanya kita harus hitung dengan baik," pungkas Bahlil.
Keputusan Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan sangat menentukan arah kebijakan energi nasional. Dengan adanya dilema antara ketergantungan pada energi fosil dan transisi ke energi hijau yang mahal, Bahlil mengungkap pemerintah harus menemukan keseimbangan agar pertumbuhan ekonomi tetap berjalan tanpa mengorbankan komitmen terhadap lingkungan.