BRICS
Nasional

AS Kembali ke Energi Fosil, Indonesia Bisa Manfaatkan BRICS untuk Transisi Energi

  • Perjanjian Paris, diadopsi pada 2015 oleh 195 negara, bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C. Dengan absennya AS, negara-negara berkembang seperti Indonesia harus mencari alternatif pendanaan dan dukungan dari mitra baru seperti BRICS untuk mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA -  Presiden baru Amerika Serikat, Donald Trump, sekali lagi merombak arah kebijakan pemerintahaannya dengan berbalik mendukung penggunaan bahan bakar fosil sebagai pilar utama ekonomi energi negara tersebut. Dalam pernyataan terbarunya, Trump menegaskan komitmennya untuk mengembalikan dominasi industri fosil, menyebutnya sebagai kunci untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan kedaulatan energi Amerika.

Langkah lain yang diambil Trump adalah rencana penghapusan insentif untuk kendaraan listrik. Ia menganggap insentif tersebut sebagai kebijakan yang tidak efisien dan membebani anggaran negara. Trump berpendapat bahwa pasar harus menentukan keberhasilan teknologi kendaraan listrik tanpa intervensi pemerintah.

Untuk kedua kalinya, Trump juga menarik AS keluar dari Perjanjian Paris. Alasan yang diutarakan adalah perjanjian tersebut merugikan industri dalam negeri dan memberikan keuntungan tidak adil kepada negara-negara seperti China dan India. Trump menegaskan bahwa perjanjian tersebut menghambat pertumbuhan ekonomi Amerika dan memberikan beban yang tidak seimbang pada negara-negara maju.

Perjanjian Paris, diadopsi pada 2015 oleh 195 negara, bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C. Dengan absennya AS, negara-negara berkembang seperti Indonesia harus mencari alternatif pendanaan dan dukungan dari mitra baru seperti BRICS untuk mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan.

"BRICS barangkali bisa menjadi peluang untuk menutup gap (pendanaan) ini," jelas Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, Agung Budiono, di Jakarta, dikutip Antara, Selasa, 22 Januari 2024.

Peluang Indonesia lewat BRICS untuk Transisi Energi

Di tengah keluarnya AS dari Perjanjian Paris dan kembali pada penggunaan energi fosil, Indonesia melihat peluang besar dalam keanggotaan di BRICS untuk mendukung transisi energi. 

Agung Budiono menyebut bahwa BRICS dapat membantu menutup celah pendanaan transisi energi yang ditinggalkan oleh negara maju seperti AS. Indonesia berharap BRICS bisa menjadi mitra strategis dalam pendanaan proyek-proyek energi terbarukan.

Keluarannya AS dari Perjanjian Paris berpotensi menunda atau mengurangi dana untuk program Just Energy Transition Partnership (JETP). Program ini sangat bergantung pada dukungan negara-negara maju, termasuk AS dan Jepang. Tanpa komitmen AS, realisasi target transisi energi global, termasuk di Indonesia, menghadapi tantangan besar.

"Mungkin, kalau diplomasi iklim Indonesia kuat dan minta dukungan pendanaan yang lebih konkret ke China, bakal ada peluang positif," tambah Agung.

China, dengan inisiatif seperti Green Belt and Road Initiative, berpotensi menjadi pemimpin global dalam transisi energi. Inisiatif ini menawarkan pendanaan untuk proyek-proyek energi terbarukan yang bisa mendukung target Indonesia mencapai 75 GW energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan. Kepemimpinan China dalam hal ini dapat menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energinya.

"Misalnya, dulu ada wacana Green Belt and Road Initiative, mungkin itu bisa benar-benar diseriusi dan dieksekusi," pungkas Agung.

Meskipun demikian, hubungan diplomatik dengan China tetap menjadi tantangan. China masih memanfaatkan energi fosil secara agresif, termasuk pembangunan captive power plant di smelter nikel. Indonesia perlu memperkuat diplomasi iklimnya untuk memastikan pendanaan konkret dari China dalam mendukung transisi energi yang lebih bersih.