Ilustrasi THR.
Nasional

Asal-Muasal THR di Indonesia, Berawal dari Tradisi PNS

  • Diketahui bahwa tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah "THR" adalah Soekiman Wirjosandjojo, yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri dari Masyumi.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA- Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) di Indonesia telah menjadi bagian penting dari budaya sejak lama. Awalnya, THR hanya diperuntukkan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tahun 1950-an. 

Dilansir dari laman serikat pekerja seluruh indonesia, Selasa, 2 April 2024, berbagai sumber menegaskan bahwa Tradisi Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1950-an.

Diketahui bahwa tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah "THR" adalah Soekiman Wirjosandjojo, yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri dari Masyumi. 

Langkah tersebut menjadi langkah signifikan dalam sejarah kebijakan sosial di Indonesia.

Pada awalnya, THR hanya ditujukan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan mereka menjelang Hari Raya Idul Fitri. 

Besarannya tunjangan hari raya pada masa itu, berkisar antara Rp 125 hingga Rp 200, jumlah tersebut setara dengan angka Rp2 Juta di masa Sekarang.

Namun, seiring dengan perkembangan waktu, tuntutan untuk memberikan THR juga muncul dari kalangan buruh, yang kemudian mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Peran Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) turut berperan dalam menuntut THR bagi buruh. 

Protes yang dilakukan oleh para buruh di perusahaan swasta merupakan cerminan dari keinginan mereka untuk diakui dan dihargai atas kontribusi mereka dalam pembangunan ekonomi nasional. 

Mereka merasa bahwa tidak adil jika hanya PNS yang mendapat manfaat dari kebijakan THR, sementara mereka yang juga turut serta dalam upaya memajukan perusahaan swasta tempat mereka bekerja tidak mendapat perlakuan yang sama.

Tindakan Protes

Tindakan protes yang diambil oleh para buruh, terutama dalam bentuk aksi mogok kerja pada tanggal 13 Februari 1952, adalah langkah tegas untuk menyuarakan aspirasi mereka. 

Dalam menghadapi situasi ini, tanggapan cepat dari pemerintah, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Soekiman, menunjukkan pentingnya dialog dan kesepahaman antara pemerintah, perusahaan, dan buruh dalam menyelesaikan konflik sosial dan menjamin kesejahteraan pekerja.

Akhirnya, penyelesaian yang ditemukan tidak hanya meredam gejolak saat itu, tetapi juga memberikan fondasi bagi pengakuan resmi terhadap hak THR bagi seluruh pekerja di Indonesia, tidak terkecuali dari sektor swasta. 

Dengan demikian, momen ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan buruh dan kebijakan sosial di Indonesia, dan menandai kepopuleran istilah "THR" yang terus bertahan hingga saat ini.

Pada tahun 1994 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang THR Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan resmi dikeluarkan

Sejak itu, THR telah menjadi hak bagi semua pekerja di Indonesia, termasuk PNS, buruh, dan karyawan swasta.

Besaran THR saat ini diatur dalam peraturan pemerintah. Untuk tahun 2024, besaran THR bagi PNS dan pensiunan adalah gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji pokok mereka. Sementara bagi buruh, besarnya setara dengan 1 bulan gaji.

Tradisi pemberian THR ini bukan hanya sekadar kewajiban hukum, tetapi juga simbol dari nilai-nilai solidaritas dan keadilan sosial dalam masyarakat Indonesia. 

THR menjadi momen yang dinanti-nantikan oleh banyak pekerja sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras dan dedikasi mereka sepanjang tahun.

Dengan adanya regulasi yang jelas dan penetapan besaran yang sesuai, diharapkan pemberian THR dapat menjadi instrumen yang efektif dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga mereka, serta mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.