Asap Rokok Menjadi Sumber Terbesar Polusi Dalam Ruangan, Benarkah?
Ketua Komite Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo menyebutkan asap rokok menjadi sumber terbesar polusi dalam ruangan. Seharusnya, tidak ada satu produk berasap yang diperbolehkan berada dalam ruangan. “Rokok adalah produk berbahaya yang dianggap normal, terutama di Indonesia. Dibiarkan saja asapnya melayang di dalam ruangan. Akibatnya, iya tentu saja, asap rokok menjadi sumber terbesar untuk polusi […]
Nasional & Dunia
Ketua Komite Nasional Pengendalian Tembakau Prijo Sidipratomo menyebutkan asap rokok menjadi sumber terbesar polusi dalam ruangan. Seharusnya, tidak ada satu produk berasap yang diperbolehkan berada dalam ruangan.
“Rokok adalah produk berbahaya yang dianggap normal, terutama di Indonesia. Dibiarkan saja asapnya melayang di dalam ruangan. Akibatnya, iya tentu saja, asap rokok menjadi sumber terbesar untuk polusi di dalam ruangan,” katanya, Senin 19 Agustus 2019.
Dalam catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, DKI Jakarta masih memiliki 59% penduduk yang merokok di dalam gedung/ruangan. Akibatnya, jumlah perokok pasif di Jakarta masih tinggi, sampai lebih dari 70% (Riskesdas, 2018).
“Ini artinya, kesadaran tentang bahaya merokok di dalam ruangan bahkan belum separuh dimiliki penduduk DKI Jakarta. Artinya, penegakan Kawasan Tanpa Rokok di dalam gedung juga masih lemah. Ini sangat mengkhawatirkan tapi tampaknya tidak mengkhawatirkan bagi pemerintah DKI Jakarta yang katanya ingin membuat warganya bahagia,” tandasnya.
Disampaikan Prijo, Pemerintah DKI Jakarta memang pernah mengubah Pergub 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok menjadi Pergub 88 tahun 2010 yang utamanya merevisi bagian “wajib disediakan ruang merokok di dalam gedung”. Sehingga ruang merokok tidak lagi di dalam melainkan di luar gedung yang udaranya langsung ke langit. Perubahan ini, kata Prijo, adalah kesadaran bahwa asap rokok di dalam ruangan/gedung adalah polusi utama di dalam gedung dan mengancam penghuninya.
Hanya saja, menurut Prijo pemerintah DKI Jakarta belum mempunyai Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Akibatnya penerapan kawasan tanpa rokok yang diamanatkan PP109/2012 menjadi sangat longgar.
“Persoalannya, Raperda KTR DKI Jakarta sampai saat ini masih mangkrak di DPRD DKI padahal sudah diusulkan sejak 2016 dan hampir disahkan dalam paripurna, tapi justru sekarang tidak juga disahkan. Jadi, upaya pembatasan konsumsi rokok di ruang publik juga tidak kuat. Demi perlindungan masyarakat di ruang pubik terutama, saya sangat mendukung Raperda DKI Jakarta tentang KTR segera disahkan,” sebutnya.
“DPRD harusnya tidak menimbang lebih lama lagi. Pemprov DKI juga sudah setuju. Sebagai kota yang menjadi role model bagi kota-kota lain di Indonesia, Jakarta harusnya malu karena sang ibukota justru tidak punya Perda KTR untuk melindungi warganya,” lanjutnya.
KTR Solusi Bagi Perokok Pasif dan Aktif
Dalam hal ini, Prijo mengatakan penerapan Kawasan Tanpa Rokok bukan semata-mata untuk melindungi perokok pasif saja, tetapi juga perokok aktif. Sehingga dengan ditegakkannya KTR, perokok “dipaksa” untuk tidak merokok di area tertentu.
“Kalau sudah ada KTR, frekuensi merokok pun berkurang. Jadi, upaya KTR adalah upaya perlindungan dan pembatasan merokok yang juga ditujukan demi kesehatan para perokok. KTR akan membantu menurunkan frekuensi merokok yang pada akhirnya menurunkan jumlah perokok bahkanmungkin memutuskan berhenti merokok karena sempitnya kesempatan untuk merokok,” jelasnya.
Prijo menambahkan, larangan merokok di dalam ruangan tak hanya berlaku bagi penikmat rokok konvensional, tetapi berlaku juga untuk penikmat rokok elektrik. Meski tidak mengeluarkan asap, rook lektrik tetap mengeluarkan uap air akibat pemanasan. Uap air ini, kata Prijo, merupakan aerosol yang mengandung bahan kimia yang ada dalam cairan rokok elektrik (vape).
“Salah besar jika menganggap merokok rokok elektronik di dalam ruangan boleh karena lebih aman.Jika ada pernyataan atau ajakan bahwa merokok rokok elektronik lebih aman, mohon diluruskan. Rokok elektronik sama berbahayanya sehingga seharusnya kita memperlakukan sama dengan rokok konvensional. Apapun bentuknya, polusi tetap polusi dan artinya berbahaya bagi kesehatan, dan sudah seharusnya diatur dengan tegas untuk melindungi masyarakat yang sudah bayar pajak,” tutupnya.