Produk Rokok Elektrik Beraroma Terlihat di Rak Toko di Raleigh, North Carolina (Reuters/Arriana Mclemore)
Nasional

Asosiasi Ritel: Zonasi Penjualan Rokok di PP Kesehatan Bakal Jadi Pasal Karet!

  • Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menyatakan ketentuan zonasi tersebut dinilai terlalu mengatur tentang cara berjualan bagi produk tembakau.

Nasional

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Pengusaha ritel menegaskan larangan aktivitas penjualanproduk tembakau dalam radius 200 meter dari satuanpendidikan dan tempat bermain anak berpotensi besar menjadipasal karet yang multitafsir dan menyulitkan di lapangan. Klausul ini juga mematikan para peritel yang sudah beroperasisebelum sekolah dan tempat bermain berdiri di sekitar tempatusahanya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menyatakan ketentuan zonasi tersebut dinilai terlalu mengatur tentang cara berjualan bagi produk tembakau. Ia juga menyoroti ketidakjelasan implementasi dariamanat zonasi tersebut.

“Apakah nanti pemerintah yang akan melakukan pengukuranjarak dari tempat berjualan ke satuan pendidikan ataupemerintah akan memberlakukan zona steril di sekitar lingkupsatuan pendidikan? Dan definisi pusat pendidikan ini juga belum jelas. Apakah hanya sekolah atau tempat kursus? Narasinya tidak spesifik sehingga menimbulkan multitafsirdan menjadi pasal karet,” tanya Roy dalam acara Prime Time yang diadakan oleh Most Radio baru-baru ini.

Roy melanjutkan aturan zonasi ini dinilai bukan merupakan solusi yang tepat. Pasalnya, dibandingkan mengatur area penjualan, sebaiknya yang dikedepankan adalah edukasiberkelanjutan bagi anak-anak. Jika, aturan inidiimplementasikan tanpa adanya perubahan perilaku dan edukasi bagi anak-anak, maka mereka akan dengan mudahterpapar rokok ilegal.

“Mestinya, pemerintah fokus untuk memberantas rokok ilegalagar tidak mudah dijangkau oleh anak-anak. Bukannyamemberikan batasan penjualan bagi rokok legal yang memberikan kontribusi sekitar Rp230 triliun bagi penerimaannegara,” terangnya.

Di samping itu, pemerintah juga seharusnya mengedepankanaspek edukasi bagi anak-anak untuk tidak memiliki kebiasaanmerokok. Sepatutnya, aspek edukasi ini dibangun sejak dinimulai dari PAUD hingga sekolah dasar dan menengah untukmenjelaskan risiko kesehatan jika terjadi penyalahgunaan.

Saat ini, yang justru terjadi adalah kelemahan di aspekedukasi yang menyebabkan pemerintah mengambil jalanpintas dengan mengeluarkan regulasi yang membatasi aspek-aspek ekonomi dari produk tembakau. Padahal, pembatasanpenjualan rokok yang tertera pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 sudah mengetatkan aturan penjualan rokok.

“Kalau aturan 200 meter ini diterapkan, apakah ini akanmenambah rentetan pasal karet yang dibuat oleh pemerintah? Kalau aturan ini diterapkan, apakah bisa menghilangkanrokok ilegal? Yang ada rokok ilegal akan menjadi lebih banyak daripada rokok legal,” herannya.

Terakhir, Roy menghimbau agar pemerintah melibatkan para pemangku kepentingan di industri tembakau untuk berdiskusimengenai PP Nomor 28 Tahun 2024 ini. Karena selama ini, Roy mengaku pintu para pemangku kepentingan untukberpartisipasi dalam perumusan aturan tersebut tidakdiakomodir secara serius.

“Kita berharap ke depannya tentunya ada perbaikan, adaperubahan yang melibatkan pelaku usaha yang merupakan para pejuang ekonomi bagi bangsa. Jangan sampai kami di nomor sekiankan, sehingga kami menjadi tidak bisaberkembang,” tutupnya.