tembakau
Kolom

Asosiasi TV Swasta Indonesia: Rencana Pengetatan Iklan Produk Tembakau Rugikan Industri Kreatif dan Media

  • JAKARTA - Industri pertelevisian nasional menuntut adanya keadilan terkait pengetatan iklan dan promosi rokok di media penyiaran dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan aturan turunan Undang-Undang (UU) Kesehatan. Pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan (Kemenkes), disarankan untuk lebih bijaksana dalam menyusun aturan terkait produk tembakau karena akan berdampak negatif secara luas.

Kolom

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Industri pertelevisian nasional menuntut adanya keadilan terkait pengetatan iklan dan promosi rokok di media penyiaran dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan aturan turunan Undang-Undang (UU) Kesehatan. Pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan (Kemenkes), disarankan untuk lebih bijaksana dalam menyusun aturan terkait produk tembakau karena akan berdampak negatif secara luas.

Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, mengatakan pihaknya belum dilibatkan dalam pembahasan RPP UU Kesehatan, termasuk menyangkut rencana pengetatan jam tayang iklan produk tembakau yang menjadi lebih sempit, yaitu mulai jam 23:00 sampai jam 03:00 pagi.

Sementara, peraturan jam tayang iklan produk tembakau yang saat ini berlaku adalah mulai jam 21:30 sampai jam 05:00 pagi. ”Itu nggak fair (tidak adil). Kenapa nggak fair? Pertama, kami tidak pernah tahu tentang public hearing (yang digelar Kemenkes untuk membahas isi RPP UU Kesehatan) tersebut dan tidak diundang sebagai (perwakilan) media TV,” tegasnya kepada wartawan.

Syafril melanjutkan, rencana pengetatan tersebut dinilai tidak efektif dan diyakini hanya akan berdampak negatif kepada industri kreatif dan media, termasuk TV. ”Harusnya diriset dulu, apakah dengan melarang iklan (produk tembakau) ini orang jadi tidak akan merokok atau malah tidak ada perubahan?” tanyanya.

Lagipula, lanjut Syafril, semua pihak, terutama pemerintah, seharusnya memperhatikan keberlangsungan mata rantai dari industri tembakau, yang di dalamnya terdapat banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada industri tersebut.

Terpisah, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga (UNAIR), Gitadi Tegas, mengatakan kehadiran PP memang sebuah keharusan untuk menjalankan UU Kesehatan. “Meski begitu, kalau peta dari instrumen kebijakan yang dibutuhkan belum clear, maka aturannya tidak akan efektif,” terangnya.

Oleh karena itu, Gitadi menyarankan Kemenkes, sebagai leading sector dari RPP UU Kesehatan, untuk tidak memaksakan waktu untuk terburu-buru menyelesaikan aturan bagi produk tembakau dan perumusannya harus bijaksana, serta melibatkan pihak terdampak.