Pemudik motor memadati ruas jalan  persimpangan Kanggraksan, Cirebon, Jawa Barat.Pada H-3 Lebaran, volume kendaraan khususnya roda dua di jalur arteri melonjak tajam. Tercatat, lebih dari 200 ribu kendaraan pemudik motor melintas mengarah ke Jawa. Minggu 8 April 2024. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Kolom

Asuransi TPL Hanya Menambah Beban Masyarakat

  • Masyarakat ramai-ramai menolak asuransi TPL. Pemberlakuan asuransi ini kian menekan pendapatan kelas menengah.

Kolom

Andi Reza Rohadian

Asuransi yang mempunyai sifat melindungi dan memberi ketenangan bagi pemegang polisnya rupanya tak berlaku bagi asuransi kendaraan yang menanggung kerugian pihak ketiga (third party liability/TPL). Sejak dilontarkan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono pertengahan Juli silam, masyarakat merasa terusik.  

Asuransi TPL sendiri merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).  UU itu mengatur bahwa Pemerintah dapat membentuk Program Asuransi Wajib sesuai dengan kebutuhan, di antaranya mencakup asuransi kendaraan berupa tanggung jawab hukum pihak ketiga  terkait kecelakaan lalu lintas, asuransi kebakaran, dan asuransi rumah tinggal terhadap risiko bencana.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Program Asuransi Wajib tersebut akan diatur dengan PP setelah mendapat persetujuan dari DPR. Dalam UU P2SK dinyatakan bahwa setiap amanat UU P2SK, diikuti dengan penyusunan peraturan pelaksanaan yang penetapannya paling lama 2 (dua) tahun sejak UU P2SK diundangkan. Setelah PP diterbitkan, OJK akan menyusun peraturan implementasi terhadap Program Asuransi Wajib tersebut.

Di tengah belum adanya kejelasan, masyarakat ramai-ramai menolak kehadiran asuransi TPL. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mengutarakan biaya premi asuransi tidak sebanding dengan pendapatan pengemudi ojek online yang tidak menentu. Penyebab dari  pendapatan yang tak pasti ini adalah tarif angkutan yang murah akibat status pengemudi sebagai mitra. Kedudukan sebagai mitra membuat pengemudi ojek online tidak mendapat penghasilan yang layak berupa upah minimum.

Sebagian kalangan masyarakat mengingatkan pemerintah tidak memaksakan pemberlakuan asuransi TPL yang rencananya dimulai pada Januari 2025. Mereka menyarankan agar asuransi TPL diberlakukan secara opsional bagi pihak yang berkenan saja. Mereka gundah dengan nilai premi dan mekanisme klaim yang masih remang-remang.

Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Asosiasi Asuransi umum Indonesia(AAUI), Mei silam, muncul skema penarikan iuran asuransi melalui tagihan STNK secara tahunan. Rujukan dari skema ini tak lain iuran asuransi terkait kecelakaan lalu lintas yang dikelola oleh PT Jasa Raharja (Persero) berupa SWDKLJJ.

Nominal iuran tergantung kapasitas mesin.  Umpamanya kendaraan roda dua di atas 50 cc sampai 250 cc, tarif iurannya Rp32.000. Sedangkan kendaraan roda empat bukan angkutan umum dikenakan tarif Rp140.000. Lantas mobil penumpang angkutan umum sampai dengan 1600 cc dikenakan Rp70.000.

Bagi kalangan kelas menengah atas tarif itu tentu tak memberatkan. Apalagi sejak membeli kendaraan dengan kesadaran penuh mereka sudah langsung memasang asuransi –termasuk TPL.  Tapi bagi kalangan menengah-bawah tambahan biaya sebesar itu niscaya terasa memberatkan.

Kita tahu, sebelum isu asuransi TPL yang didahului Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mengemuka, seorang pekerja sudah dikenai lima jenis potongan, yakni BPJS Kesehatan (1 persen dari penghasilan), BPJS Ketenagakerjaan (2 persen dari penghasilan), BPJS  Ketenagakerjaan Jaminan Kecelakaan Kerja (0,24 persen)dan Jaminan Kematian (0,3 persen), BPJS Jaminan Pensiun (1 persen), PPh 21 sebesar 5-35 persen sesuai besarnya penghasilan pekerja).

Kelas Menengah Rentan Menjadi Miskin

Menurut Bank Dunia kelompok kelas menengah Indonesia adalah yang memiliki pengeluaran per bulan Rp1,2 juta-Rp6 juta per bulan. Golongan ini mencapai 20,5 persen jumlah penduduk Indonesia, dan 1,2 persen masuk kategori atas. Selebihnya tergolong kelompok miskin dan kelompok rentan.

Sebagian besar kepala rumah tangga kelas menengah berpendidikan relatif rendah dengan mayoritas bekerja di sektor informal. Sebagaimana diketahui sektor informal adalah bidang pekerjaan yang tidak mengenal kontrak atau kesepakatan kerja. Lebih tepatnya sektor informal adalah mereka yang bekerja serabutan, berjualan kaki lima, pengemudi ojek, dan sebagainya.

Badan Pusat Statistik memilah kelas menengah berdasarkan pengeluaran keluarga per bulan. Yakni, kelas menengah ke bawah (emerging middle) adalah keluarga dengan pengeluaran per bulan sebesar Rp1,5 juta-Rp2juta. Kelas menengah (middle) pengeluarannya berkisar Rp2juta -Rp3 juta per bulan. Dan untuk kelas menengah atas pengeluaran keluarga per bulan berkisar Rp3 juta-Rp5 juta.

Konsumsi keluarga sebesar itu membuat mayoritas penduduk Indonesia belum seluruhnya menikmati hak kebutuhan dasar pembangunan manusia. Peluang mereka untuk turun kelas sangat tinggi.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS tahun 2012-2021 rata-rata sisa gaji kelas menengah dalam satu tahun (2021) senilai Rp435.888 per bulan. Dengan uang sebesar itu tentu sangat tipis uang yang bisa ditabung dan diinvestasikan.  

Kenaikan PPN Siap Menambah Derita

Tanpa adanya perbaikan dalam perekonoman nasional, kelompok kelas menengah rentan turun kelas.  Terutama saat menghadapi guncangan ekonomi yang menimbulkan kenaikan harga kebutuhan pokok, BBM hingga tarif listrik. Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi kita hanya ada di kisaran 5 persen. Padahal baik di kampanye pemilihan presiden 2014 maupun saat menghadapi kontestasi periode kedua, presiden RI ketujuh itu menjanjikan pertumbuahan ekonomi 7 persen.

Atas fakta itu, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah berupaya keras mewujudkan janji-janji yang dijual dalam kampanye. Jika pertumbuhan yang dijanjikan tercapai, tentu golongan kelas menengah akan bertambah. Peluang mereka bekerja di sektor formal terbuka lebar, yang ujung-ujungnya mendapatkan akses perlindungan sosial.   

Nah, di saat kondisi masyarakat golongan menengah rentan terpeleset ke kategori miskin rasanya sungguh tidak bijak jika OJK (pemerintah) memaksakan pemberlakuan asuransi TPL.

Apalagi mulai Januari 2025 pemerintah juga sudah mencanangkan kenaikan PPN menjadi 12 persen. Kenaikan PPN pasti mempengaruhi daya beli masyarakat menengah atas yang selama ini menjadi penopang perekonomian bisa turun. Pasalnya, mereka akan lebih memilih menahan belanja dan akhirnya dunia usaha pun akan tertekan.

Satu hal yang juga tak bisa diabaikan adalah sentimen masyarakat saat ini terhadap asuransi yang dikelola atau diinisiasi pemerintah sungguh negatif.  Tentu masih segar dalam ingatan kita kasus-kasus asuransi yang terjadi di Bumiputera, Jiwasraya dan Asabri dengan nilai kerugian mencapai Rp60,5 triliun. Ini menunjukkan betapa tidak amanahnya para pengelola dana masyarakat yang bergaji puluhan bahkan ratusan juta itu.