Ilustrasi transisi energi (bahadur.id)
Energi

Aturan Baru Sektor Energi Dinilai Pukul Komitmen Transisi

  • Komitmen pemerintah dalam transisi energi dipertanyakan menyusul sejumlah regulasi yang dinilai kontraproduktif dengan pengembangan energi terbarukan. Hal itu disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan Energi Terbarukan.
Energi
Chrisna Chanis Cara

Chrisna Chanis Cara

Author

JAKARTA—Komitmen pemerintah dalam transisi energi dipertanyakan menyusul sejumlah regulasi yang dinilai kontraproduktif dengan pengembangan energi terbarukan. Hal itu disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan Energi Terbarukan. 

Koalisi menilai sejumlah regulasi seperti Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap, Peraturan Presiden (Perpres) soal penangkapan dan penyimpanan karbon, serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) berpotensi menjadi disinsentif untuk peralihan ke energi terbarukan. 

Sebagai informasi, Permen ESDM No. 2 Tahun 2024 tentang Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS atap) memuat dua perubahan yang justru akan menurunkan minat masyarakat memasang PLTS atap, khususnya sektor rumah tangga dan UMKM. 

Hal ini karena ekspor kelebihan produksi listrik PLTS atap ke jaringan listrik PLN tidak lagi diperhitungkan sebagai pengurangan tagihan. Selain itu, pengembangan PLTS atap akan mengikuti sistem kuota yang ditetapkan oleh PLN dengan periode pendaftaran dua kali dalam setahun.

Baca Juga: Ketentuan Ekspor Impor Listrik PLTS Atap Dihapus, ESDM Buka Alasannya

Masalahnya, ekspor listrik ke jaringan PLN merupakan daya tarik PLTS atap. Tanpa klausul tersebut, warga harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk memasang baterai. Tak hanya itu, jangka waktu pengembalian modal PLTS atap juga akan lebih panjang menjadi 9-10 tahun. 

Padahal dengan ketentuan ekspor kelebihan listrik 100% pada regulasi saat ini, biaya pemasangan PLTS atap bisa kembali dalam empat hingga lima tahun. Digital Campaigner 350.org Indonesia, Jeri Asmoro, menyebut regulasi anyar pemerintah menjadi sebuah kemunduran. “Ini karena partisipasi warga untuk memasang PLTS atap akan menurun,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip Jumat, 15 Maret 2024.

Perubahan aturan itu dinilai ironis karena antusiasme warga terhadap PLTS atap sudah mulai meningkat di area urban dan rural. Koordinator Enter Nusantara, Reka Maharwati, mencontohkan pemasangan PLTS atap di Desa Sembalun, Nusa Tenggara Barat dan komunitas Masjid Al-Muharram Taman Tirto Yogyakarta.

“Saya yakin banyak masyarakat lain yang ingin memasang PLTS atap di rumahnya atau bahkan diberdayakan untuk kolektif di masyarakat. Seharusnya pemerintah bisa menggandeng antusiasme ini untuk berkolaborasi dan menciptakan skema baru yang lebih bisa menguntungkan masyarakat,” ujarnya.

Pelibatan Masyarakat

Juru Kampanye Energi Terbarukan Greenpeace Indonesia, Hadi Priyanto, mengungkapkan transisi energi berkeadilan hanya bisa direalisasikan jika masyarakat dilibatkan. “Namun berbagai revisi aturan menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam upaya transisi energi,” kritiknya.

Senada dengan Permen PLTS atap, draft RPP KEN berisikan penurunan target bauran energi terbarukan dari 23% menjadi 17-19% pada 2025 juga menghambat percepatan transisi energi. Dalam dokumen Dewan Energi Nasional (DEN) soal draft RPP KEN, bauran energi terbarukan sampai 2030 ditargetkan sebesar 19-21%, dan hanya akan meningkat pada 2040 menjadi 38-41%.

Manajer Program Transformasi Energi, Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, mengatakan draft RPP KEN membuat Indonesia baru mencapai puncak emisi pada 2035. Capaian ini 7-10 tahun lebih lambat dari kebutuhan membatasi kenaikan temperatur rata-rata global dibawah 1,5°C, sesuai laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 

Sehingga, RPP KEN mengancam tercapainya Persetujuan Paris dan komitmen netral karbon pada 2060 atau lebih cepat dari target pemerintah. Puncak emisi yang tertunda dinilai membuat Indonesia harus mengakselerasi transisi energi dalam kurun waktu yang lebih pendek (setelah 2035), sehingga biaya dan dampak sosial akan lebih besar dan sulit dimitigasi. 

Draf ini juga sudah berdampak pada perspektif berbagai aktor, seperti investor dan pengembang energi terbarukan, terkait keseriusan pemerintah untuk mendorong pengembangan energi terbarukan. “Hal ini juga menandai bahwa penurunan target bauran energi primer pada 2025 dan 2030, terutama porsi energi terbarukan seperti surya dan angin, dapat menghambat gotong royong transisi energi,” ujar Deon.