Nampak sejumlah pekerja proyek tengah mengerjakan pambangunan di perumahan Podomoro Tenjo, Jumat 1 April 2022. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Nasional

Backlog Hunian Tinggi, Pembiayaan Perumahaan di Indonesia Masih Tertinggal dari Negara Tetangga

  • Pembiayaan perbankan ke perumahan atau house financing di Indonesia masih tergolong rendah dibanding negara tetangga.
Nasional
Yosi Winosa

Yosi Winosa

Author

JAKARTA - Pembiayaan perbankan ke perumahan atau house financing di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan India. 

Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Mirza Adityaswara menyatakan ada pekerjaan rumah yang sangat besar yaitu terkait tingginya angka kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) rumah di Indonesia. Menurut data Kementerian PUPR, backlog hunian naik menjadi 12,75 juta dari sebelumnya 11,4 juta.

Tingginya kebutuhan memiliki rumah, menurut Mirza, tidak seimbang dengan pendanaan yang ada untuk perumahan. Memang, pendanaan dari perbankan untuk kredit pemilikan rumah (KPR) sudah tersedia dalam berbagai variasi baik tabungan, deposito, dan giro. Namun, belum sepenuhnya aman untuk memenuhi pendanaan KPR bagi masyarakat. 

Lantas bagaimana caranya untuk meningkatkan pendanaan bagi perumahan? 

“Diperlukan adanya suatu perputaran kredit dengan pasar yang sudah ada. Seperti praktik di negara maju, ada pasar yang memperjualbelikan kredit perumahan yakni secondary mortgage,”  kata dia dalam website resmi seperti dikutip Senin, 4 April 2022.

Ditambahkan Mirza, diIndonesia, sejatinya sudah mulai ada ide tersebut (pasar secondary mortgage). Hal ini sudah didorong, meskipun belum berkembang dengan baik. Mirza mengakui diperlukan pelonggaran regulasi, regulasi baru, atau bantuan dari berbagai stakeholders, kementerian/lembaga, dan juga perbankan/lembaga pembiayaan.

Seperti diketahui, Indonesia memiliki perusahaan yang menyediakan Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan yakni Secondary Mortgage Facilities (SMF), dengan peran sebagai lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha di bidang pembiayaan sekunder perumahan.

Pengamat Pembiayaan Perumahan Erica Soeroto menambahkan, untuk pendanaan perumahan, bank atau lembaga keuangan dapat melakukan penghimpunan dana jangka panjang dapat dilakukan melalui pasar modal atau tabungan wajib. 

“Sebelum tentukan pilihan, terlebih dahulu harus dianalisis biaya dan manfaatnya, terutama bagi masyarakat. Hal ini penting karena kunci keberhasilan sistem tersebut adalah efisiensi, demi tercapainya keterjangkauan,” kata mantan Dirut PT Sarana Multigriya Finansial itu.

Sistem Pembiayaan Belum Efisien

Menurut Erica, sistem pembiayaan perumahan di Indonesia belum efisien. Sebabnya, tingkat kesejahteraan masyarakat rendah memaksa tingkat bunga tinggi, tidak terjangkau, dan masih perlu subsidi. Dampaknya, volume KPR relatif kecil. 

“Dominasi perbankan yang rentan terhadap berbagai risiko karena sumber dananya jangka pendek. Semakin tinggi risiko, semakin tinggi tingkat suku bunga, sehingga KPR menjadi semakin tidak terjangkau,” katanya.

Dia menambahkan, selisih antara tingkat suku bunga pasar dengan tingkat bunga yang terjangkau, masih cukup tinggi. Hal ini terjadi terutama spread perbankan yang relatif tinggi dan sistem pembiayaan perumahan yang tidak berfungsi dengan baik sehingga kondisi pasar tidak efisien. 

“Agar terjangkau, pemerintah memberikan subsidi. Ketergantungan pada subsidi akan terus berlanjut selama sistem belum efisien,” jelasnya.

Di sisi lain, lanjut Erica, bank berhak menetapkan tingkat bunga baru, sehingga risiko perubahan bunga menjadi beban konsumen. Di sisi lain, KPR cair sebelum rumah siap huni. 

“DP 0% tanpa mitigasi risiko, lalu penyalur KPR terbatas, konsumen cenderung membeli rumah secara angsuran dari developer. KPR demikian cenderung menunda risiko,” kata dia.

Direktur Pengembangan Sistem dan Strategi Penyelenggaraan Pembiayaan Kementerian PUPR Agus Sulaeman menyatakan saat ini program pembangunan perumahan masih fokus pada rumah yang dibangun secara formal, yakni oleh developer dan dijual kepada masyarakat. Di sisi lain, populasi pekerja di Indonesia didominasi oleh pekerja di sektor non formal, yakni hampir 60%, menurut data Susenas. 

Tantangan lain adalah bahwa berdasarkan survei Bank Dunia 2020, bahwa dari 26% yang disurvei menginginkan perbaikan rumah, sisanya 74% ingin membangun rumah di tanah sendiri. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan program yang ada di pemerintah dengan pendekatan secara formal.

Pada 2019, rumah layak huni hanya mencapai 56,75%. Sementara target lima tahun ke depan naik jadi 70%, atauada  penambahan sebanyak 13,25% menjadi 11 juta rumah. Namun, program yang disediakan secara formal sebanyak 3,4 juta rumah, dan yang dilakukan secara swadaya hanya sekitar 800 ribuan rumah. 

“Jadi ada gap yang luar biasa untuk penyediaan perumahan antara yang formal dengan yang swadaya, khususnya bagi pekerja informal,” kata Agus.

Maka, ke depan, lanjtut Agus, pemerintah berencana untuk menggeser pembiayaan perumahan untuk segemn informal. Namun untuk mewujudkan hal itu butuh waktu. 

Agus mengakui bahwa di sektor perumahan, KPR sektor properti baru menyumbang sektor 2,8% ke Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini tertinggal jauh dengan Malaysia, Singapura, India, yang memilki sumbangan KPR ke PDB negaranya sudah di atas 11%, bahkan di atas 20%. 

“Kita memang dihadapkan dengan kondisi backlog perumahan, baik dari sisi kepemilikan yakni 12,7 juta rumah tangga, maupun kepenghunian yang masih di angka 6,9 juta rumah tangga. Dua-dauanya Jawa Barat yang menjadi juaranya,” kata Agus