Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menggelar aksi damai didepan gedung DPR. Seluruh mata rantai dalam ekosistem pertembakauan, termasuk tenaga kerja, mendesak Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menghapus pasal tembakau yang dinilai diskriminatif dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU kesehatan), yakni Pasal 154 sampai Pasal 158. Rabu 14 Juni 2023. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Nasional

Badai PHK Ancam Padat Karya, Pekerja Tembakau Minta Cukai Tak Naik

  • Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, mengungkapkan bahwa 46.240 pekerja di Indonesia mengalami PHK selama periode Januari hingga Agustus 2024.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus menghantui industri padat karya seperti manufaktur, garmen, dan tekstil. Di tengah melemahnya daya beli masyarakat, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada industri akan semakin memperburuk keadaan.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah, mengungkapkan bahwa 46.240 pekerja di Indonesia mengalami PHK selama periode Januari hingga Agustus 2024. "Memang kita akhir-akhir ini banyak mengalami PHK ya. Kita terus memitigasi agar jangan sampai PHK itu terjadi,” katanya. Harapannya, badai PHK yang mengancam ini tak akan lebih tinggi dibandingkan dengan angka PHK pada 2023.

Senada, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP-RTMM), Sudarto, mengingatkan bahwa ancaman PHK tidak hanya terbatas pada sektor-sektor tersebut, tetapi juga mengancam Industri Hasil Tembakau (IHT) yang selama ini menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia.

“Seharusnya, berbagai industri padat karya yang dapat membuka lapangan pekerjaan dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar harus dipertahankan dan dilindungi dengan kebijakan yang baik,” terangnya.

Ia melanjutkan IHT, yang merupakan sawah ladang para pekerja, kini sudah sangat tertekan oleh berbagai kebijakan dan regulasi yang bertujuan untuk mematikan IHT, seperti kebijakan kenaikan cukai yang sangat tinggi, PP 28/2024 dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).

“Faktanya, dengan kondisi saat ini, penerimaan negara tidak tercapai dan rokok ilegal makin bertumbuh. Sementara, rokok legal tertekan aturan yang semakin ketat dan daya beli masyarakat turun. Akhirnya, pelaku rokok legal bisa mati, kalah dengan rokok ilegal,” terangnya.

Sudarto menegaskan bahwa rencana kenaikan cukai rokok pada tahun 2025 berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Padahal, IHT merupakan sektor padat karya yang melibatkan jutaan pekerja di berbagai level, mulai dari petani tembakau, buruh pabrik, hingga pedagang kecil. 

Oleh karena itu, FSP-RTMM secara tegas menolak rencana kenaikan cukai rokok pada tahun 2025. “Kami memohon agar cukai rokok tidak naik pada 2025. Kenaikan cukai hanya akan membawa ketidakpastian bagi IHT, termasuk potensi PHK bagi pekerjanya dan akan memperburuk kondisi ekonomi pekerja yang sudah sangat tertekan, apalagi baru adanya pengesahan PP 28/2024,” khawatirnya.

Menurut Sudarto, setiap tahun IHT selalu berada dalam kondisi siaga akibat ancaman kenaikan cukai, di mana dampaknya terasa pada seluruh segmen IHT, mulai dari rokok mesin hingga sigaret kretek tangan. “Kalau pemerintah dan berbagai pihak terkait memahami hal ini, sudah seharusnya tidak ada kenaikan cukai di tahun depan,” tegasnya.

Sudarto mengingatkan bahwa upaya pemerintah dalam melindungi pekerja dari PHK harus diimplementasikan dengan cermat dan tidak memberatkan industri melalui berbagai kebijakan yang mencekik. 

“Selain menolak kenaikan cukai rokok, kami juga menolak regulasi kemasan rokok polos (tanpa merek). PP 28/2024 hanya mengatur peringatan kesehatan dan tidak ada pengaturan kemasan polos (tanpa merek), kenapa RPMK melangkahi peraturan di atasnya?” tegasnya.

FSP-RTMM juga berencana untuk menggelar forum mitigasi dampak yang dihadiri perwakilan serikat pekerja dari seluruh tingkatan dan mitra industri terkait. Forum ini akan menetapkan langkah advokasi litigasi maupun non-litigasi untuk memastikan kepentingan pekerja dan kelangsungan IHT tetap terlindungi di tengah berbagai tekanan kebijakan yang ada.