Ilustrasi IPO start up decacorn PT Goto Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) di Bursa Efek Indonesia. Ilustator: M. Faiz Amali
Fintech

Badai PHK Start Up (Serial 7): Pertumbuhan Start Up Melambat, Mitos, Fakta dan Biang Kerok

  • Selama 10 tahun terakhir, industri start up dianggap layaknya kawanan sapi di padang rumput yang luas.
Fintech
Rizky C. Septania

Rizky C. Septania

Author

JAKARTA- Selama 10 tahun terakhir, industri start up dianggap layaknya kawanan sapi di padang rumput yang luas. 

Lewat beragam proyek dengan ide prospektif sejumlah investor akan datang dan mengalirkan uang ke perusahaan. Meski sebetulnya, ide tersebut kurang lebih menjanjikan.

Tumbuh dengan harapan start up terus tumbuh pesat tanpa kenal apa itu kejatuha. PAda akhir tahun 2010, Investasi pada start up mencapai angka yang sebelumnya tak terbayangkan.

Bahkan ketika COVID-19 melanda dunia akhir 2021 lalu, aliran dana tak kunjung berhenti. Meski ekonomi sulit, start up terus tumbuh. Sejumlah start up yang menyandang status unicorn lahir satu per satu dari penjuru dunia. Mengutip Forbes Rabu, 28 September 2022, jumlah totalnya kala itu lebih dari 1000.

Sayangnya, pada 2022, roda mulai berputar. Beragam kejadian mulai mengguncang pasar. Mulai dari ketidakstabilan ekonomi, perang di Eropa, kenaikan suku bunga utama dan wabah baru pandemi. Pun halnya dengan aliran dana segar yang mengalir membasahi start up semakin lama tampak mengering.

Berdasarkan data dari CB Insight, nilai pendanaan yang masuk ke perusahaan-perusahaan start up di skala global terus mengalami peningkatan dari kuartal ke kuartal pada 2021.

Sebagai gambaran, pada kuartal I-2021, tercatat pendanaan sebesar US$133,3 miliar atau setara dengan Rp1,99 kuadriliun (asumsi kurs Rp15.000 perdolar AS).

Jumlah pendanaan start up meningkat 14,3% pada kuartal berikutnya dengan catatan nilai sebesar US$152,4 miliar atau sekitar Rp2,28 kuadriliun.

Kemudian, pada kuartal III-2021, tercatat pendanaan sebesar US$162,5 miliar atau Rp2,43 kuadriliun dan US$177,8 miliar atau Rp2,66 kuadriliun pada kuartal IV-2021.

Namun, pada kuartal I-2022, nilai pendanaan start up menyusut 20,3% dibanding kuartal sebelumnya ke angka US$141,6 miliar (Rp2,12 kuadriliun).

Angka tersebut menyusut lagi pada kuartal II-2022 ke US$108,5 miliar (Rp1,62 kuadriliun) atau turun 23% dibanding kuartal sebelumnya.

Adanya penurunan dan ketidakpastian akan pendanaan pada akhirnya memaksa start up untuk mengubah pendekatannya. Dari awalnya berjuang untuk terus tumbuh apapun yang terjadi menjadi meningkatkan peluang untuk mencari keuntungan dan mengurangi biaya.

Sebagian start up mengklaim berhasil bertahan dan mengurangi biaya dari surutnya pendanaan. Sayangnya, hal ini dilakukan dengan jalan pintas, yakni merumahkan karyawannya secara masal.

Ironisnya, aksi PHK ini banyak dipimpin oleh start up yang baru saja menerima pendanaan cukup besar. Sejak awal tahun, hingga sekarang, ada sekitar 414 start up telah memberhentikan hampir 60.000 orang.

Stagnan demi aliran dana

Investor sekaligus pakar Industri teknologi asal AS, Yura Lazebinkov mengatakan dalam gagasannya bahwa aliran uang yang pernah diguyurkan pada sejumlah start up menyebabkan perusahaan rintisan itu stagnan di zona nyaman.

Mereka tampak menunda datangnya model bisnis menyeluruh hingga nanti. Semua upaya yang dilakukan oleh perusahaan perintis semata-mata hanya untuk  menarik uang.

"Mereka berasumsi bahwa mereka dapat memperbaiki kesalahan selama penskalaan. Tapi ini adalah ilusi, dan setiap kesalahan menjadi lebih penting dengan setiap dolar yang diinvestasikan," tulis Lazebinkov seperti dikutip TrenAsia.com.

Lazebinkov menambahkan, terhentinya aliran dana pada start up memang seharusnya dilakukan. Sebab pada dasarnya, perusahaan harus berada di ujung jurang dahulu sebelum memikirkan ulang model dan strategi bisnis yang harus mereka lakukan.

"Overstaffing, gaji tinggi, dan pengeluaran tanpa pertimbangan untuk pemasaran alih-alih hal-hal seperti kecocokan pasar produk adalah kesalahan umum. start up dan dana perlu diguncang dan itulah yang terjadi," tambah Lazebinkov.

Biang kerok

Pasar memang tampak melemah belakangan terakhir. Begitu pula dengan pendanaan terhadap start up.

Melihat fenomena tersebut, Lazebinkov mengatakan ada sejumlah hal yang menjadi biang kerok melambatnya pertumbuhan perusahaan perintis.

Alasan pertama, kata Lazebinkov, adalah banyaknya uang yang digelontorkan pada 2021 lalu. Seperti diketahui, pendanaan total untuk start up di seluruh dunia pada 2021 lalu mencapai US$621 miliar atau sekitar Rp9,4 kuadriliun. Di tahun berikutnya, tampaknya akan sulit untuk melihat pendanaan dalam jumlah besar.

Alasan kedua adalah inersia keuangan. Artinya pada 2021 lalu, start up masih dalam tahap pelarian. Karenanya, pasar berakselerasi sedemikian rupa sehingga terus mengalirkan uang bahkan ketika sinyal badai yang akan datang terdengar keras dan jelas.

Ketiga, di saat yang bersamaan ketidakpastian akan menjadi filter penting bagi pasar dan dapat memberikan lahan subur bagi tim dan produk yang kuat yang berfokus pada sesuatu yang lebih dari sekadar meningkatkan performa. Sejumlah perusahaan perintis seperti  Stripe, Uber, Airbnb, Square, dan banyak lainnya kini  memulai perjalanan mereka di masa yang lebih sulit.