Startup
Fintech

Badai Start Up Diprediksi Masih Berlanjut di 2024

  • Data riset menunjukkan penurunan signifikan dalam pendanaan financial technology (fintech) di paruh pertama tahun 2023, mencapai US$25 Juta atau setara dengan Rp385,97 miliar dalam asumsi kurs Rp15.439 per-dolar Amerika Serikat (AS), dibandingkan dengan angka US$1 miliar (Rp15,43 triliun) di periode yang sama tahun sebelumnya.
Fintech
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA – Indonesia Fintech Society (IFSoc) memprediksi badai perusahaan rintisan alias start up, atau yang biasa disebut juga sebagai tech winter, masih akan berlanjut pada tahun 2024. 

Data riset menunjukkan penurunan signifikan dalam pendanaan financial technology (fintech) di paruh pertama tahun 2023, mencapai US$25 Juta atau setara dengan Rp385,97 miliar dalam asumsi kurs Rp15.439 per-dolar Amerika Serikat (AS), dibandingkan dengan angka US$1 miliar (Rp15,43 triliun) di periode yang sama tahun sebelumnya. 

Eddi Danusaputro, Anggota Steering Committee IFSoc, menjelaskan bahwa investor kini lebih memprioritaskan profitabilitas, dan perusahaan rintisan diharapkan dapat menyesuaikan model bisnis mereka. 

Kemungkinan adanya badai perusahaan rintisan yang berlanjut di tahun 2024 dipicu oleh ketegangan geopolitik global, kenaikan suku bunga, dan tahun politik. 

Dalam konteks ini, pemerintah diharapkan memberikan dukungan melalui kebijakan pembiayaan alternatif dan penciptaan lapangan kerja bagi talenta digital.

“Investor akan semakin wait-and-see di tengah kondisi ekonomi dan politik yang penuh ketidakpastian di tahun depan. Di sini pemerintah perlu andil memberikan affirmative policy melalui adanya alternatif pembiayaan dan pemberian lapangan pekerjaan yang lebih luas bagi talenta digital,” kata Eddi dalam Press Briefing Catatan Akhir Tahun secara virtual pada Jumat, 29 Desember 2023.

Menurut Eddi, sejak tahun 2020 hingga 2023, perkembangan startup teknologi di Indonesia mengalami fluktuasi yang signifikan. 

Awalnya, pandemi COVID-19 melanda pada tahun 2020, menyebabkan penurunan aktivitas bisnis. Pada tahun 2021, kondisinya melemah, namun di tahun 2022 terjadi pemulihan yang signifikan. 

Sayangnya, pada tahun 2023, kondisi start up kembali mengalami penurunan yang cukup drastis akibat situasi geopolitik global yang tidak kondusif.

Faktor Suku Bunga

Faktor suku bunga juga menjadi perhatian utama dalam pengaruhnya terhadap investasi di start up. Tingginya suku bunga dapat membuat investor luar berpikir dua kali sebelum menanamkan uangnya pada start up yang memiliki risiko tinggi dibandingkan dengan aset lain yang lebih aman. 

Eddi menjelaskan bahwa investor cenderung bersikap hati-hati dan mengadopsi pendekatan "wait and see" ketika suku bunga tinggi karena hal ini dapat mempengaruhi minat mereka untuk berinvestasi pada aset berisiko.

Meskipun demikian, ekosistem investasi start up di Indonesia masih tetap bergerak maju. Mayoritas investor, terutama investor lokal, lebih tertarik pada start up dengan tahap awal atau early stage karena investasi pada tahap ini dianggap memiliki risiko yang lebih terukur. 

Investasi pada tahap awal juga dianggap memiliki potensi imbal hasil yang lebih tinggi karena valuasinya masih relatif rendah, dan perjalanan bisnis startup tersebut masih panjang.

Perbedaan sikap antara investor asing dan lokal juga terlihat jelas. Investor lokal, terutama BUMN yang mendapat mandat investasi di pasar Indonesia, terlihat lebih aktif daripada investor asing yang cenderung menunggu dan melihat. 

Eddi menekankan bahwa di tahun 2024, investasi akan tetap ada, meskipun bersifat selektif. Investor tidak hanya fokus pada penilaian valuasi, melainkan juga pada keberlanjutan dan profitabilitas start up.

Eddi juga mengungkap bahwa pemerintah diharapkan dapat memberikan alternatif pembiayaan untuk mendukung pertumbuhan start up.