Ladang minyak Daqing di provinsi Heilongjiang, China (Reuters/Stringer)
Energi

Bahlil Buka Opsi Beli Minyak Mentah dari Rusia, Untung atau Rugi?

  • Sanksi negara-negara barat terhadap perusahaan pengapalan dan asuransi juga akan berdampak pada biaya logistik seandainya Indonesia membeli minyak mentah kepada Rusia

Energi

Debrinata Rizky

JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan kemungkinan Indonesia membeli minyak di Rusia, menyusul resminya keanggotaan Indonesia dalam BRICS (Brazil, Russia, India, China, dan Afrika Selatan/South Africa) tahun 2025 ini.

Bahlil menyebutkan Indonesia merupakan negara yang menganut azas politik bebas aktif. Sehingga Indonesia bisa menjalin kerja sama dengan negara mana saja selama tidak melanggar aturan, termasuk membeli minyak mentah dari Rusia.

"Ketika kita bangun dengan BRICS, dan kemudian ada peluang untuk kita mendapatkan minyak dari Rusia, selama itu sesuai aturan, dan tidak ada persoalan kenapa tidak," kata Bahlil saat ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat 10 Januari 2025 lalu.

Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai hal tersebut bisa menjadi peluang yang baik. Pasalnya harga minyak yang dijual Rusia relatif lebih murah bandingkan negara-negara lain. "Bisa jadi positif, kalau Indonesia beli minyak dari Rusia karena murah," katanya kepada TrenAsia.com pasar Senin, 13 Januari 2025.

Fahmy juga melihat, potensi pembelian minyak mentah dari Rusia mampu menambal kebutuhan Indonesia yang saat ini produksi minyak  tidak begitu optimal. Ditambah dengan cadangan minyak Indonesia kian menipis.

Hal ini berbanding terbalik dengan kebutuhan minyak mentah dalam negeri yang masih jumbo. Sehingga adanya tambahan pembelian minyak dari Rusia bisa menjadi alternatif menambal kebutuhan.

Bahkan Dosen UGM ini, meragukan target lifting minyak tahun ini dapat tercapai. Sekadar informasi, pemerintah sendiri menargetkan lifting minyak sebesar 605.000 barrel oil per day (BOPD). Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga menargetkan lifting gas bumi sebesar 1,005 juta barel atau setara minyak per hari yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Pemerintah Diminta Analisis Kembali

Berbeda dengan Fahmy, dihubungi terpisah Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, meminta pemerintah untuk menganalisis kembali biaya dan manfaat dari impor tersebut sebelum memutuskannya.

Pasalnya saat ini Rusia dikenakan sanksi oleh Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Uni Eropa. Di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden, AS sendiri melayangkan sanksi terhadap sejumlah perusahaan dan pembatasan ekspor untuk Rusia.

"Sanksi negara-negara barat terhadap perusahaan pengapalan dan asuransi juga akan berdampak pada biaya logistik seandainya Indonesia membeli minyak mentah kepada Rusia,"katanya pada Senin, 13 Januari 2025.

Lebih jauh Fabby menilai, kegiatan impor Minyak dari Rusia memungkinkan Indonesia juga menerima tekanan dari negara-negara barat. Serta mengganggu hubungan diplomasi Indonesia ke AS maupun negara barat lainnya.

Sehingga, pemerintah perlu mempertimbangkan biaya dan manfaat dari impor tersebut. Pasalnya, besar kemungkinan hubungan diplomasi Indonesia dengan negara Barat merenggang dengan impor tersebut.