<p>Ilustrasi kontraktor pertambangan nikel, batu bara, dan jasa tambang lain dari PT Darma Henwa Tbk (DEWA) / Dok Perseroan</p>
Energi

Bahlil Minta Indonesia Agresif Kendalikan Harga Nikel Dunia

  • Indonesia tidak boleh lagi hanya menjadi pengikut, tetapi harus memimpin penetapan harga yang adil bagi komoditas yang diekspor.

Energi

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia secara agresif mengampanyekan hilirisasi produk sumber daya alam (SDA) sebagai salah satu pilar utama kebijakan ekonomi. 

Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam yang dimiliki negara, seperti nikel, bauksit, tembaga, dan batu bara. Tidak lagi hanya mengekspor bahan mentah, tetapi memprosesnya menjadi produk bernilai tinggi di dalam negeri. 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menekankan pentingnya posisi Indonesia sebagai produsen utama komoditas strategis seperti nikel, batu bara, dan timah untuk menentukan harga komoditas tersebut di pasar global. 

"Saya pastikan, untuk harga timah, harga batu bara, harga nikel ke depan harus ditentukan oleh Pemerintah Republik Indonesia," tegas Bahlil saat forum Green Initiative Conference 2024 di Jakarta, Rabu, 25 September 2024.

Indonesia Masih Mengekor Harga Nikel 

Bahlil menegaskan Indonesia tidak boleh lagi hanya menjadi pengikut, tetapi harus memimpin penetapan harga yang adil bagi komoditas yang diekspor.

"Kita ini jangan menjadi, apa ya? Kita ini harus jadi lokomotif ASEAN, Bukan follower ASEAN. Ini sama dengan ketika kita menyetop ekspor ore nickel. Kita menyetop ekspor ore nikel, nikel ini kan sekarang kan menjadi sebuah komoditas critical mineral," tambah Bahlil.

Sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia,  Indonesia telah mengambil langkah strategis dengan menghentikan ekspor bijih nikel untuk mendorong hilirisasi industri di dalam negeri. 

Hilirisasi Nikel Genjot Penghasilan Nasional

Menurut Bahlil hilirisasi nikel sudah terbukti meningkatkan nilai tambah produk nikel. Berdasarkan data, ekspor nikel Indonesia pada tahun 2017-2018 hanya bernilai sekitar US$3,3 miliar atau sekitar Rp49,8 triliun (kurs Rp15.100), Setelah proses hilirisasi nilainya diperkirakan melonjak menjadi US$40 miliar atau sekitar Rp604 triliun pada tahun 2023-2024.

"Kita dibawa ke WTO (World Trade Organization), tapi apa yang terjadi begitu kita membangun smelter, nilai ekspor kita dari tahun 2017-2018, itu hanya 3,3 miliar. Dan di 2023-2024, saya pastikan minimum 40 miliar. Sekarang sudah 34 miliar dolar AS," terang Bahlil.

Selain itu, hilirisasi nikel juga meningkatkan posisi Indonesia di pasar global, terutama dalam perdagangan dengan negara-negara besar seperti China, Eropa, dan Amerika Serikat. 

Menurut Bahlil, penguatan ini akan memberikan pengaruh positif dalam memperkuat ekonomi nasional. Namun, ia juga mengakui Indonesia masih menghadapi tantangan, terutama dalam penguasaan teknologi yang masih didominasi oleh asing. Meski demikian, langkah hilirisasi dan kendali harga komoditas diyakini akan menjadi solusi efektif untuk memperbaiki situasi ini.

Bahlil juga menyoroti pentingnya perbaikan harga komoditas batu bara. Meskipun Indonesia adalah eksportir batu bara terbesar, harga batu bara Australia masih lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Hal ini menjadi tantangan yang perlu diatasi agar Indonesia dapat memaksimalkan manfaat ekonomi dari sumber daya alamnya.

"Harga batu bara Australia dengan kita, itu Australia lebih mahal, padahal kita eksportir batu bara terbesar di dunia. Ini lucu-lucu. Nah, saya pikir ini bagian-bagian yang harus kita perbaiki. Sekarang sudah bagus, tapi kita mau yang lebih bagus lagi dan karena itu harus ada kesadaran kolektif dan kesadaran bertahap," tutur Bahlil.

Dengan mengendalikan harga komoditas strategis, Indonesia akan mampu mencapai tujuan ekonomi nasional secara maksimal, baik untuk negara maupun masyarakat luas.