Bahlil Sebut Pembangunan Industri LPG Nasional akan Tekan Ketergantungan Impor
- Untuk mendorong investasi di sektor hulu migas, Pemerintah sedang merumuskan langkah-langkah komprehensif yang melibatkan penyederhanaan regulasi perizinan.
Energi
JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan rencana pemerintah untuk membangun industri Liquefied Petroleum Gas (LPG) di dalam negeri guna mengurangi ketergantungan pada impor LPG.
Menurut Bahlil, langkah ini penting dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan mengurangi defisit pada neraca perdagangan dan devisa negara.
"Khusus untuk LPG, kita ke depan akan membangun industri LPG di dalam negeri, dengan memanfaatkan potensi C3 (propane) dan C4 (butana). Ini kita harus bangun supaya mengurangi impor," ujar Bahlil di Jakarta pada Kamis, 12 September 2024.
- ADRO Mau Jual Anak Usaha Senilai Rp37 Triliun, Apa Penyebabnya?
- Saham Saratoga (SRTG) Melambung 16 Persen, Efek ADRO?
- Saham ADRO Melambung Gagah Usai Muncul Isu Bagi Dividen
Bahlil mengungkap bahwa saat ini Indonesia mengeluarkan devisa yang signifikan untuk impor LPG, sekitar Rp450 triliun keluar setiap tahun untuk membeli minyak dan gas, termasuk LPG. Hal ini berdampak langsung pada neraca perdagangan dan pembayaran negara, sehingga pembangunan industri domestik dianggap sebagai solusi yang tepat untuk mengurangi beban tersebut.
Bahlil juga menyoroti pentingnya pengembangan jaringan gas rumah tangga sebagai bagian dari upaya pelayanan pemerintah kepada masyarakat, saat ini pemerintah tengah membangun pipa gas dari Aceh hingga Pulau Jawa.
Menteri Bahlil menyebut untuk mendorong investasi di sektor hulu migas, Pemerintah sedang merumuskan langkah-langkah komprehensif yang melibatkan penyederhanaan regulasi perizinan. "Perizinan kita terlalu banyak. Ada kurang lebih sekitar 300 lebih izin. Nah ini kita akan pangkas, kita akan potong," tegas Bahlil.
Selain penyederhanaan perizinan, Bahlil menekankan pentingnya memberikan insentif menarik bagi investor di sektor hulu minyak dan gas. Ia juga menyoroti persaingan global yang semakin ketat dalam menarik Foreign Direct Investment (FDI) di sektor hulu migas.