Balada K-Pop dan Drakor: Antara Penawar atau Biang Kerok Resesi Ekonomi Korea
Karena sangat bergantung pada industri hiburan, Korea Selatan menjadi salah satu negara yang mengalami resesi akibat pandemi COVID-19. Tercatat, perekonomian Korsel anjlok 3,3% pada kuartal II-2020 dan minus 1,3% pada kuartal sebelumnya.
Gaya Hidup
JAKARTA – Siapa yang tidak mengenal budaya Pop Korea Selatan (K-Pop)? Mulai dari K-Fashion, K-Drama, hingga K-Beauty, gelombang industri hiburan (Hallyu) dari Korea Selatan tak bisa dimungkiri masif membanjiri nyaris sejagat raya sejak seperempat abad terakhir.
Tepatnya pada gelaran Seventh Conference for the Promotion of New Economy di Seoul pada 1994, Presiden Korea Selatan kala itu, Kim Young-sam menyatakan siap bersaing dalam bidang budaya dan ekonomi secara global untuk menandingi Amerika Serikat.
Tak main-main, pemerintah segera mengimplementasikan instruksi presiden dengan menelurkan kebijakan bernama “Lima Tahun Rencana Pengembangan Budaya”. Kebijakan ini fokus pada pengembangan industri hiburan dan sektor teknologi informasi.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Di Indonesia, penggemar alias fan K-Pop terkenal sebagai basis pengagum yang militan dan loyal. Salah satunya, Annisa Amri dari Jakarta, seorang penggemar K-Pop yang menyebut dirinya sebagai multifandom alias menjadi fan banyak grup idola.
Seperti kebanyakan fan lainnya, Annisa juga kerap membeli merchandise grup idol favoritnya. Ia pun membagikan tautan satu akun di sebuah e-commerce yang menjual berbagai macam aksesoris ceperti CD, Lightstick, dan album foto.
Setelah ditelusuri, harga dari berbagai aksesoris tersebut bisa dikatakan cukup mahal. Terlebih, penggemar K-Pop didominasi oleh anak muda.
“Saat mengumpulkan uang, biasanya saya suka beli perintilan yang kecil-kecil dulu. Jadi lebih murah,” kata Annisa saat berbincang dengan TrenAsia.com, Minggu, 27 September 2020.
Dia juga bercerita banyak dari teman sesama fan K-Pop yang jauh lebih berani menguras koceknya untuk menonton konser atau sekadar membeli aksesoris yang harganya mencapai jutaan rupiah.
Melihat betapa loyalnya fans K-Pop di seluruh dunia, tak heran jika ekonomi Korea Selatan sangat bergantung pada industri hiburan. Sebetulnya apa yang mendasari Hallyu dapat sebesar itu?
Ekonomi dan Hallyu di Masa Lalu
Dilansir dari Era.id, Korea Selatan adalah satu dari sedikit negara di dunia yang menjadikan seni dan budaya sebagai komoditas ekspor. Seni dan budaya ini dikembangkan menjadi sebuah soft power dalam berdiplomasi.
Dalam Konferensi Pariwisata Korea Selatan ke-3 pada 2001, Presiden Korea Selatan saat itu, Kim Dae-jung mengembangkan pemikiran pendahulunya, Kim Young-sam dengan menambahkan sektor pariwisata di dalamnya.
Dae-jung menekankan pentingnya pembangunan industri pariwisata yang modern sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru, dan budaya Korea (Hallyu/K-Pop) sebagai ‘pusat’ dari industri tersebut.
Agresivitas Korea Selatan dalam menyebarkan fenomena Hallyu berkaitan erat dengan keuntungan ekonomi yang mereka incar. Sebut saja film Korea Winter Sonata (2002) yang ‘meledak’ di kawasan Asia dan meraup keuntungan hingga US$29 miliar setara Rp429,2 triliun.
Pemerintah Korea Selatan lantas memperluas anggaran sektor budaya hingga mencapai US$900 juta atau 1% dari anggaran nasional untuk menunjang persebaran Hallyu lebih masif lagi.
Pada 2014, Negeri Ginseng bahkan menganggarkan hampir US$5,2 miliar untuk bidang ini dan media, atau 1,4 % dari total anggaran nasional. Tiga tahun kemudian, angkanya kembali meningkat hingga US$7,5 miliar atau 2% total anggaran nasional.
Sebetulnya, tidak ada data statistik resmi mengenai dampak Hallyu terhadap perekonomian Korea Selatan. Namun, Song Seng Wun dari Bank CIMB Private memperkirakan Hallyu berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) Korea Selatan sebesar 3%-5%.
Jurus Jitu Kembangkan Hallyu
Tidak hanya berinvestasi dalam nilai yang besar, pemerintah Korsel juga membentuk sejumlah institusi/lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam kontinuitas persebaran Hallyu.
Badan pemerintah yang langsung menaungi Hallyu (K-Pop) adalah Kementerian Budaya, Olahraga dan Pariwisata Korea Selatan (MCST) yang terdiri dari KOCCA, KOFICE, dan KTO.
KOCCA, Korea Creative Content Agency merupakan agen pemerintah Korsel yang memimpin kemajuan konten kreatif, baik di dalam maupun di luar negeri.
KOFICE, Korea Foundation for International Cutural Exchange, merupakan badan pemerintah yang menjalankan misi pertukaran budaya dan program akademik.
KTO, Korean Tourism Organization bertanggung jawab atas pengembangan kebudayaan dan pariwisata yang berdampak langsung terhadap devisa negara dalam hal pariwisata.
Bahkan, pemerintah setempat membuat peta jalan (roadmap) penyebaran pada akhir 1990-an dalam beberapa tahap.
Hallyu 1.0, menyebar pada periode 1995-2005 ke sejumlah negara Asia seperti China, Taiwan dan Jepang. Orientasi utama fase ini mengenalkan pelbagai potensi dan keunikan sejumlah destinasi wisata di Korea Selatan melalui konten K-drama dan film.
Hallyu 2.0, yang lebih mengarah pada popularitas boy/girlband dan kemampuan penyebaran melalui media yang lebih canggih.
Hallyu 3.0, prospek perkembangan Hallyu yang diduga akan terjadi di masa depan. Gelombang budaya yang berkembang tidak lagi hanya berfokus pada K-Pop maupun K-Movies tetapi juga industri lainnya seperti games, animasi, budaya tradisional dan fashion. Terakhir, Hallyu 4.0 yang lebih berfokus pada K-Style.
BTS Ikon Ekonomi
Dilansir Korea Herald, matangnya perencanaan dan kebijakan pemerintah Korsel dalam pengembangan ekonomi melalui industri kreatif telah terbukti menghasilkan banyak jebolan idol yang tak main-main.
Mari ambil contoh kesuksesan salah satu boyband yakni Bangtan Boys alias BTS yang tersohor. Hyundai Research Institute melaporkan dampak dari ketenaran BTS menciptakan multiplier effect ke segala sektor.
Tiap tahun, BTS mampu menyumbang ke kantong penerimaan negara lebih dari US$3,6 miliar setara Rp53,2 triliun. Angka itu setara dengan kontribusi 26 perusahaan kelas menengah di Korsel.
Riset tersebut juga melaporkan bahwa BTS merupakan alasan bagi satu dari 13 wisatawan asing yang mengunjungi Korea pada 2017.
“Sekitar 800.000 wisatawan memilih Korsel sebagai tujuan wisata karena BTS. Jumlah itu setara lebih dari tujuh persen total pengunjung negara itu,” tulis laman tersebut.
Selain pariwisata, BTS punya andil dalam menggerakkan kinerja ekspor Korsel. Terutama pakaian, kosmetik, dan bahan makanan terkait BTS dengan nilai lebih dari US$1 miliar.
Jika kesuksesan BTS bertahan hingga 10 tahun ke depan, Korsel diprediksi mampu mendapat penerimaan sebesar 41,8 triliun won hanya dari satu boyband.
“BTS saat ini adalah aset ekonomi yang berharga karena daya tariknya membantu meningkatkan citra merek produk dari Korea di mata dunia,” simpul Korea Herald.
Manajemen BTS Go Public
Kesuksesan BTS membuat agency yang menaunginya, yakni Big Hit Entertainment berani melantai di bursa saham dengan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) yang bisa memberikan nilai pasar perseroan sekitar US$4 miliar setara Rp60 triliun.
Praktis, penawaran tersebut membuat harta pendiri Big Hit, Bang Si-hyuk melejit hingga US$1,4 miliar. Dari penawaran tersebut, Bang menyatakan bakal membagikan maisng-masing sekitar US$8 juta pada ketujuh personel BTS atau sekitar 68.385 saham pada Agustus 2020.
Tercatat, Bang memiliki 43% dari agensi musik yang berbasis di Seoul. Sementara perusahaan game Netmarble milik kerabatnya, Bang Jun-hyuk memegang 25% setelah menginvestasikan US$172 juta dua tahun lalu. Keduanya kini sudah menjadi salah satu orang terkaya di Negeri Ginseng itu.
Pundi-Pundi Agensi
Tidak hanya Big Hit Entertainment, setidaknya ada empat agensi terbesar di Korsel. Berikut, rangkuman pendapatan keempatnya pada semester I-2020.
Big Hit Entertainment
Pada enam bulan pertama 2020, Big Hit sudah mengantongi US$41 juta atau sekitar Rp605 miliar. Angka ini belum termasuk akumulasi keuntungan dari comeback BTS dengan lagu Dynamite pada Jumat, 21 Agustus 2020.
Big Hit berhasil membuktikan kesuksesannya dan mengalahkan 3 besar agensi musik Korea Selatan dengan memiliki BTS.
SM Entertainment
Selama semester I-2020 SM Entertainment berhasil mencatat keuntungan sebesar US$5 juta atau sekitar Rp73 miliar. Keuntungan ini sudah dikurangi hilangnya pendapatan akibat batalnya sejumlah tur dan konser para idol.
YG Entertainment
Sementara itu, YG Entertainment berhasil mengantongi keuntungan sebesar 200 juta Won atau sekitar Rp2,47 miliar. Tetapi angka itu belum termasuk hasil comeback dari Blackpink dengan How Do You Like That yang dirilis pada 26 Juni 2020.
JYP
Pada 6 bulan pertama 2020 saja, agensi yang dinaungi oleh Park Jin Young atau JYP ini meraup pendapatan sebesar Rp237 miliar.
Sikmak perbandingannya:
Penjualan
SM: 658 miliar won
Big Hit: 588 miliar won
YG: 265 miliar won
JYP: 155 miliar won
Laba Operasional
Big Hit: 98 miliar won
JYP: 43 miliar won
SM: 40 miliar won
YG: 2 miliar won
Laba Bersih
Big Hit: 79 miliar won (profit)
JYP: 32 miliar won (profit)
SM: 16 miliar won (defisit)
YG: 25 miliar won (defisit)
Ekonomi saat Pandemi
Karena sangat bergantung pada industri hiburan, Korea Selatan menjadi salah satu negara yang mengalami resesi akibat pandemi COVID-19. Tercatat, perekonomian Korsel anjlok 3,3% pada kuartal II-2020 dan minus 1,3% pada kuartal sebelumnya.
Ini adalah kemunduran ekonomi terparah negara itu sejak lebih dari dua dekade terakhir. Ekspor Korsel merosot tajam akibat krisis pandemi COVID-19.
PDB negara dengan pereekonomian terbesar keempat di Asia itu jatuh sebesar 2,9% secara year on year (yoy). Terjungkalnya ekonomi Korea menjadi penurunan terbesar sejak kuartal keempat 1998.
Kegiatan ekspor, yang menyumbang hampir 40% perekonomian, menjadi biang keladi kemerosotan ekonomi Korsel. Sektor ini merosot sebesar 16,6%, terburuk sejak tahun 1963.
Pemerintah telah menggelontorkan stimulus ekonomi sekitar 277 triliun won (setara Rp3.374 triliun) sejauh ini. Namun, pembuat kebijakan tak cukup mampu mengendalikan permintaan global terhadap ekspor dalam negeri.
“Bagian terburuk nampaknya telah usai. Base effect dan pembiayaan fiskal dari anggaran tambahan akan meningkatkan investasi,” kata Park Sung-hyun, analis dari perusahaan HI Investment & Securities.
Untuk keseluruhan 2020, analis memperkirakan perekonomian akan turun rata-rata 0,4%. Namun, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan kontraksi ekonomo Korsel bahkan lebih dari 2,1%.
Pekan lalu, Gubernur Bank Korea menyebut bahwa revisi yang lebih besar dari proyeksi 0,2% yang dinyatakan sebelumnya untuk penurunan ekonomi 2020 sebagai hal yang tidak dapat dihindari.
Industri Hiburan Jadi Alasan
Pelemahan ekonomi ini disebabkan oleh tertundanya sejumlah jadwal konser, fan-meeting, fan-signing, dan showcase untuk sementara waktu. Tur dunia BTS, Map Of The Soul World Tour 2020, yang seharusnya dimulai pada April lalu di Seoul juga batal dihelat.
“Saat ini sangat tidak mungkin untuk memperkirakan kapan konser atau tur akan dapat dimulai lagi seperti normal,” ujar Big Hit Entertainment, dalam pernyataan resmi seperti dikutip melalui Grammy, Kamis, 23 Juli 2020.
Pada saat yang sama, beberapa grup K-pop lainnya telah membatalkan konser Asia mereka, termasuk JYP Entertainment’s Twice, Red Velvet SM Entertainment, dan NCT Dream. Tak habis akal, agensi besar terbukti beradaptasi dengan keterbatasan akibat pandemi.
Mereka justru menggelar konser secara virtual, dan tentunya tetap bisa menghasilkan uang karena penonton tetap dikenakan tiket berbayar untuk dapat mengakses acara.
Sebagai contoh, pagelaran konser virtual oleh SuperM pada 26 April, dengan lebih dari 75.000 penonton berbayar. Acara ini tercatat sebagai konser K-Pop virtual pertama dalam serangkaian acara yang akan ditayangkan langsung, bertajuk Beyond Live.
Dilansir melalui Forbes, konser virtual grup SuperM ini berhasil mencetak pendapatan sebesar US$2 juta dari harga tiket pada kisaran US$30, ada pula merchandise yang dijual dengan harga lebih mahal.
Meskipun tidak secuan menggelar konser konvensional, namun acara ini tetap laris manis diramaikan para fan K-Pop yang terkenal militan itu. Di sisi lain, industri perfilman Korsel tak kalah deras mengalirkan dana ke kantong penerimaan negara.
Contohnya, Peninsula sebuah film sekuel Train to Busan menghasilkan uang US$13 juta di box office Korsel, menurut laporan Deadline. “Di Taiwan, penjualan tiket untuk pemutaran film Peninsula setidaknya mencapai US$5 juta disusul oleh Malaysia, Singapura, dan Vietnam,” tulis Indie Wire.
Peninsula juga mendorong IMAX unggul pada akhir pekan ini, dengan total penjualan tiket global sebesar US$1 juta untuk pertama kalinya sejak pertengahan Maret, yang merupakan kali terakhir banyak penonton pergi ke bioskop. (SKO)