Bali Alami Paceklik Tenaga Programmer
- Akademisi sekaligus Rektor Primaka University I Made Artana sebut Bali masih mengalami paceklik tenaga programmer. Sisi baik dari adanya packelik ini adalah peluang untuk mencetak lebih banyak tenaga programmer perangkat lunak dan aplikasi.
Nasional
JAKARTA - Akademisi sekaligus Rektor Primaka University I Made Artana sebut Bali masih mengalami paceklik tenaga programmer. Sisi baik dari adanya packelik ini adalah peluang untuk mencetak lebih banyak tenaga programmer perangkat lunak dan aplikasi.
Artana sebut banyak lulusan bidang IT yang belum memiliki kompetensi sebagai programmer. Hal ini menyebabkan banyaknya permintaan belum bisa terpenuhi.
“Lowongan untuk posisi programmer itu banyak, namun nyatanya tidak mampu terpenuhi. Meskipun banyak lulusan di bidang IT, namun sedikit yang betul-betul memahami kompetensi sebagai programmer,” kata Artana dikutip TrenAsia.com dari Antara.
Menurut Artana banyak calon mahasiswa yang menghindari jurusan ini karena merasa belajar programming itu sulit.
“Tidak jarang ada persepsi bahwa belajar programming itu sulit sehingga akibatnya jurusan ini menjadi dihindari,” terangnya.
Tak hanya lingkup nasional, lowongan kerja sebagai programmer banyak disediakan oleh perusahaan-perusahaan asing. Fakta ini tentu sangat menggiurkan terlebih banyak pekerjaan yang membebaskan karyawannya untuk bekerja dari mana saja alias work from anywhere (WFA).
- Jerman Akhirnya Bisa Mendapat Leopard Tua untuk Dikirim ke Ukraina
- Airlangga Targetkan Transaksi di GIIAS 2023 Capai Rp15 T
- Bandara SMB II Palembang Kembali Buka Penerbangan Rute Internasional
“Banyak lowongan kerja programmer dari luar negeri yang menjanjikan penghasilan lebih tinggi. Istimewanya lagi dapat dikerjakan dari Bali, bahkan dari tempat tinggal masing-masing,” ucapnya.
Menurut Artana, kebijakan perusahaan luar negeri yang mempekerjakan karyawan dari Indonesia ini tentu menjadi win-win solution untuk kedua belah pihak.
“Perusahaan dari luar negeri juga diuntungkan dengan sistem kerja seperti ini karena mereka mengeluarkan upah yang lebih kecil dibandingkan tenaga kerja di negaranya. Dari yang seharusnya membayar gaji per bulan US$3.000-4.000 (setara Rp45,62 - Rp60,82 juta rupiah, asumsi rate Rp15.206) , dengan model remote ini cukup US$1.500 (setara Rp22,81 juta),” ucapnya.
Sayangnya, fenomena ini dinilai Artana juga memiliki sisi negatif yaitu banyaknya industri dalam negeri yang kekurangan tenaga programmer karena generasi muda lebih banyak melirik pekerjaan yang fleksibel bisa dilakukan dengan WFA.
“Sisi positifnya memang tenaga kerja kita bisa mendapat dolar. Namun efek negatifnya industri dalam negeri menjadi kekurangan talenta,” kata Artana.