Bangun Pabrik DME di Sumsel, Indonesia Bisa Hemat Rp9,7 Triliun per Tahun
- Erick Thohir mengatakan proyek gasifikasi batu bara di Sumatera Selatan ditargetkan bisa menghasilkan 1,4 juta DME dan menghemat devisa Rp9,7 triliun.
Nasional
JAKARTA -- Isu defisit minyak dan gas (migas) telah menjadi isu yang sangat sensitif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tren peningkatan defisit migas selama tahun lalu dimana mencapai US$13,25 miliar setara Rp189,83 triliun, meroket 120,7% dari tahun 2020 yang hanya sebesar US$6,01 miliar.
Guna menekan defisit migas yang telah menjadi "penyakit kronis", pemerintah bertujuan membangun proyek gasifikasi batu bara agar bisa menghasilkan dimetil eter (DME).
DME dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar sektor rumah tangga dan industri, bahan bakar pembangkit listrik, bahan baku untuk produk kimia serta bahan bakar transportasi karena memiliki angka cetan yang tinggi, menurut Japan DME Association.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan proyek gasifikasi batu bara yang hari ini dilakukan groundbreaking di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, ditargetkan bisa menghasilkan 1,4 juta DME.
- Keren! Ibu Kota Nusantara Bakal Terhubung dengan Jalan Tol Bawah Air
- BNI Bekali Guru dengan Kompetensi Digital dengan Kolaborasi Bersama Alibaba dan Rumah Perubahan
- Ciptakan Talenta IT, BCA Gelar Hackathon in BCA 2022
Dengan ketersediaan DME tersebut, PT Pertamina (Persero) bisa mengurangi impor Liquid Petroleum Gas (LPG) 1 juta ton per tahun serta menghemat cadangan devisa hingga 9,7 triliun per tahun.
"Hilirisasi sumber daya alam dengan gasifikasi batubara menjadi gas DME untuk mengurangi impor LPG merupakan bagian dari transformasi BUMN agar siap menghadapi pasar global," katanya Erick dalam sambutannya, Senin, 24 Januari 2022.
Dia mengatakan bahwa pihaknya terus mendorong BUMN meningkatkan hilirisasi. Erick tidak ingin melimpahnya sumber daya alam (SDA) justru menjadi bahan bagi pertumbuhan negara lain.
Dalam pembangunan pabrik DME di Sumsel, akan dikerjakan oleh PT Pertamina, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan investor asal Amerika Serikat, Air Products & Chemicals Inc (APCI).
Pabrik ini diharapkan dapat mengurangi subsidi LPG sebesar Rp7 triliun per tahun dan memperbaiki neraca perdagangan.
Erick mengatakan Indonesia terlalu bergantung pada ekspor bahan mentah sehingga terus mengikis neraca perdagangan. Padahal, negara-negara Asia Tenggara lain telah melakukan ekspor barang yang memiliki nilai tambah yang lebih tinggi karena sudah bisa mengekspor barang jadi dan setengah jadi.
Erick menyampaikan proyek strategis nasional (PSN) selama 20 tahun ini mendatangkan investasi asing dari APCI sebesar US$2,1 miliar setara Rp30 triliun.
Dia pun berharap kedepannya bisa menarik investasi asing lainnya, memberdayakan industri nasional melalui penggunaan porsi TKDN, hingga penyerapan tenaga kerja lokal. Di pabrik DME Sumsel, diharapkan menyerap tenaga kerja sebanyak 10.000 orang.
"Gasifikasi batu bara memberikan nilai tambah langsung pada perekonomian nasional secara makro karena sejalan dengan arahan presiden untuk mengurangi ketergantungan pada produk impor, juga transformasi ke ekonomi hijau serta energi baru dan terbarukan," ungkap Erick.
Dalam kesempatan groundbreaking, Presiden Joko Widodo mengatakan gasifikasi batu bara diharapkan bisa menekan impor LPG dan mendorong pembukaan lapangan kerja.
Menurut data Kementerian Investasi/BKPM, rata-rata impor LPG Indonesia dalam setahun menjadi 6-7 juta metrik ton (MT).
Nilai impor LPG ditaksir mencapai Rp80 triliun, dari total kebutuhan Rp100 triliun. Artinya, 80% LPG masih diimpor tiap tahunnya. Dari nilai tersebut, juga harus disubsidi oleh pemerintah untuk sampai ke masyarakat karena harganya sangat tinggi. Subsidinya mencapai sekitar Rp60-70 triliun.
Jokowi menegaskan bahwa dengan nilai impor yang sangat besar maka wajar jika neraca migas terus defisit karena memang kran impor masih sangat besar.
Secara umum, kuota impor gas mencapai 70% sedangkan ekspor hanya 30%. Ketika harga gas meledak di pasaran, maka Indonesia harus menanggung bebannya.
“Kita bisa memperbaiki neraca perdagangan kita karena enggak impor, kita bisa memperbaiki neraca transaksi berjalan kita karena kita enggak impor," tandas Jokowi.
Jokowi optimistis bahwa dengan membangun pabrik DME yang bisa menggantikan LPG, maka Indonesia bisa mengurangi beban APBN yang terlampaui berat.
"Kalau semua elpiji nanti disetop dan semuanya pindah ke DME, duit yang gede sekali Rp60-70 triliun itu akan bisa dikurangi subsidinya dari APBN. Ini yang terus kita kejar," ungkap mantan Walikota Solo.
Sementara itu, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahaladia mengatakan investasi pabrik DME di Sumbsel akan membuka lapangan pekerjaan dalam jumlah besar mulai dari tahapan konstruksi hingga saat beroperasi nantinya.
"Pekerjaan ini akan menghasilkan lapangan pekerjaan 12-13 ribu dari konstruksi yang dilakukan oleh Air Products, kemudian kurang lebih sekitar 11-12 ribu dilakukan di hilir oleh Pertamina, ditambah lagi begitu eksisting, berproduksi, lapangan pekerjaan disiapkan yang tetap itu 3.000, itu yang langsung, tapi kalau yang tidak langsung, kontraktornya, subkontraktornya, multiplier effect itu bisa 3-4 kali lipat," katanya.
Bahlil menyampaikan, proyek dengan nilai investasi sebesar Rp33 triliun tersebut akan dikerjakan dalam waktu 30 bulan.
“Investasi ini full dari Amerika (Serikat), bukan dari Korea (Selatan), bukan dari Jepang, bukan juga dari Cina. Jadi sekaligus penyampaian bahwa tidak benar kalau ada pemahaman negara ini hanya fokus investasi (dari) satu negara,” imbuhnya.
Dia menegaskan bahwa hilirisasi batu bara di Muara Enim ini akan mengedepankan penggunaan tenaga kerja dalam negeri.
“Air Products sudah saya panggil, tenaga kerjanya 95 persen dari Indonesia, yang dari 5 persen itu hanya masa konstruksi, masa produksinya itu akan dilibatkan PTBA dan PT Pertamina," ungkapnya.