Ilustrasi bank digital di Indonesia. Infografis: Deva Satria/TrenAsia
Industri

Bank Digital Ramai-Ramai Bakar Duit, Bagaimana Prospeknya?

  • Sejumlah bank digital mengalami lonjakan beban operasional akibat pengembangan teknologi produknya.
Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Transformasi perusahaan perbankan dari konvensional menjadi digital rupanya menelan ongkos yang tidak sedikit. Sejumlah bank digital mengalami lonjakan beban operasional akibat pengembangan teknologi produknya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan tren ‘bakar duit’ ini sebagai langkah awal efisiensi bisnis perbankan. Dirinya menyebut pengembangan layanan digital berbasis aplikasi memang punya biaya tinggi karena seluruh layanan harus terautomasi.

“Biaya investasi untuk teknologi seperti infrastruktur sistem digital, aplikasi, credit scoring memang relatif lebih mahal dibanding bank tradisional. Jadi wajar sebenarnya adanya kenaikan biaya operasional di tahun awal,” jelas Bhima kepada TrenAsia.com, Rabu, 1 Agustus 2021.

Berdasarkan laporan keuangan paruh pertama tahun ini, sejumlah bank digital memang melaporkan lonjakan beban operasional. Bahkan, tingginya beban operasional membuat beberapa bank digital mengalami kerugian pada semester I-2021.

PT Bank Jago Tbk (ARTO) milik Jerry Ng misalnya, harus merugi Rp47 miliar pada semester I-2021. Hal ini disebabkan mahalnya ‘ongkos’ beban operasional yang melejit 135% menjadi Rp183 miliar pada semester I-2021.

Tidak jauh berbeda, kondisi ini juga dialami oleh PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB). Rencana menjadi bank digital membuat Bank Neo Commerce berbalik rugi Rp132,85 miliar pada semester I-2021. Padahal, BBYB masih sanggup membukukan laba bersih Rp19,32 miliar pada semester I-2020.

Sama seperti Bank Jago, Bank Neo Commerce juga mengalami tumbukan pada pos beban operasional. Total beban operasional BBYB melesat 253% year on year (yoy) dari Rp100,27 miliar pada semester I-2020 menjadi Rp277,020 miliar pada semester I-2021.

Lain halnya dengan PT Bank Capital Indonesia Tbk (BACA) yang masih mampu menjaga lonjakan beban operasional. Beban operasional emiten bersandi BACA ini hanya merangkak 31% menjadi Rp241,39 miliar dari sebelumnya Rp184,30 miliar. Walhasil, BACA masih bisa meraup laba bersih Rp11,60 miliar.

Meski begitu, kinerja BACA masih tergolong negatif. Pasalnya, raihan laba pada semester I-2021 itu lebih rendah 77,68% dibandingkan dengan semester I-2020 yang mencapai Rp51,98 miliar.

Rontoknya laba bersih juga dialami MNC Bank. Emiten milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo itu mengalami penurunan laba bersih 6,7% yoy dari Rp5,13 miliar pada semester I-2020 menjadi Rp4,78 miliar pada semester I-2021.

Hanya ada PT Bank BRI Agroniaga Tbk (AGRO) yang membukukan kinerja stabil pada semester I-2021 ini. Laba bersih calon bank digital ini terbang dari Rp20,04 miliar pada semester I-2020 menjadi Rp26,22 miliar pada semester I-2021.

Meski begitu, Bhima mengatakan sejumlah bank ini mengambil langkah lebih awal dibandingkan yang lainnya. Pasalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merestui operasional bank digital tanpa adanya kantor cabang.

“Tapi seiring berjalannya waktu bank digital akan jauh lebih efisien dibanding bank tradisional. Faktor utama keunggulan bank digital dalam jangka panjang adalah biaya sewa kantor cabang menjadi hampir nol,” jelas Bhima.