Bank Indonesia: Dari Kasus BLBI Sampai CSR
- Bank Indonesia kembali dicemari isu korupsi. Isu terbaru adalah penyalahgunaan penyaluran dana corporate social responsibility (CSR). Jadikan perkara ini sebagai momentum untuk menegakkan keadilan. Beri efek jera bagi para pelakunya.
Kolom
Beberapa malam ini terasa lebih panjang bagi Perry Warjiyo. Bagaimana Gubernur Bank Indonesia (BI) itu bisa tidur nyenyak jika ruang kerjanya diobrak-abrik oleh aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengeleledahan yang dilaksanakan Senin malam, 16 Desember 2024, terkait dengan dugaan penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) BI.
Tiga hari setelah penggeleledahan, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan dugaan program CSR bermasalah karena digunakan tidak untuk peruntukannya. “Artinya ada beberapa, misalkan CSR-nya ada 100, yang digunakan hanya 50, dan 50 sisanya tidak digunakan," katanya.
Langkah ini merupakan bagian dari penyelidikan dugaan korupsi terkait penggunaan dana CSR BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2023. Perry sendiri, melalui akun YouTube @BankIndonesia, Kamis 19 Desember 2024 menegaskan komitmen BI untuk mendukung penuh proses hukum yang tengah dilakukan KPK. "BI menghormati proses hukum yang dilaksanakan KPK sebagaimana prosedur dan ketentuan yang berlaku," ujarnya.
Perry juga menyatakan program CSR BI telah dilakukan sesuai tata kelola yang kuat dan persyaratan yang ketat. Ia menegaskan CSR hanya diberikan kepada yayasan yang sah, memiliki program kerja yang konkret, dan diawasi dengan laporan pertanggungjawaban yang jelas.
Tak lupa ia mengungkapkan, di BI setiap program kerja melalui tahapan pengecekan serta ada laporan pertanggungjawaban oleh yayasan. Selanjutnya, perencanaan CSR dilakukan melalui alokasi anggaran oleh Dewan Gubernur setiap tahun.
Alokasi itu diberikan untuk pendidikan, pemberdayaan ekpnomi masyarakat dan ibadah sosial. “Khusus beasiswa, setiap tahun BI memberikan tambahan beasiswa kurang lebih 11 ribuan," katanya.
Sejauh ini KPK belum menetapkan satu orang pun sebagai tersangka. Satu hal yang pasti, penggeledahan di BI telah menambah beban mata uang rupiah. Kalangan analis menilai kasus BI ini memperburuk sentimen pasar terhadap rupiah di tengah meningkatnya ketidakpastian perdagangan global.
“Kami memperkirakan bahwa serangannya telah menyebabkan pasar memperkirakan tambahan premi risiko terhadap rupiah sebesar 1%-1,5% untuk saat ini,” kata Lloyd Chan, Forex Strategist di MUFG Bank Ltd, dilansir dari Bloomberg.
Sementara tekanan di pasar saham Rabu pagi, 18 Desember 2024, masih berlanjut. IHSG tergerus ke level 7.134,82. Kasus yang menyentuh seorang Gubernur BI ini memang sungguh menyesakkan.Sebagai pengatur dan pengawas perbankan Bank Indonesia (BI) memegang peranan strategis dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan di Indonesia.
Maka menjadi kewajiban bagi segenap pejabat BI untuk menjaga marwahnya. Haram hukumnya melakukan praktik-praktik tercela. Sikap menguntungkan diri sendiri tidak hanya mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan negara, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi yang seharusnya mereka jaga.
Korupsi Jumbo, Sanksi Superringan
Nyatanya bukan baru kali ini Gubernur BI tersandung perkara. Sejauh ini sudah dua Gubernur BI harus merasakan dinginnya lantai bui akibat tersandung perkara korupsi. Mereka adalah Syahril Sabirin (menjabat 1998-2003) dan Burhanuddin Abdullah (2003-2008).
Syahril tersandung dalam perkara cessie Bank Bali tahun 1999. Kasus ini bermula dari gagalnya pemilik Bank Bali, Rudy Ramli, mendapatkan klaim tagihan antarbank kepada Bank Umum Nasional (BUN) dan Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Rudy kemudian mengalihkan hak tagih tersebut kepada Era Giat Prima milik Joko S. Tjandra. Begitu hak tagih berpindah, duit tersebut cair pada Juni 1999 sebesar Rp 904 miliar. Separuhnya (Rp 546,5 miliar) menjadi hak Era Giat Prima milik Djoko Tjandra. .
Seharusnya barang bukti sebesar Rp546 miliar tersebut bukanlah dana talangan. Pemerintah tidak seharusnya menjamin atau membayarkan hak tagih tersebut. Alhasil Syahril diadili dengan tuduhan melanggar UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Syahril dijatuhi hukuman tiga tahun penjara di pengadilan tingkat pertama. Namun di tingkat banding kasasi ia dinyatakan tak bersalah. Ia pun dibebaskan. Toh kejaksaan tidak terima. Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pun dilayangkan. Majelis hakim PK pada Juni 2009 akhirnya menghukum Syahril dua tahun penjara.
Adapun Burhanuddin Abdullah bersama para anggota Dewan Gubernur BI lain dinyatakan terbukti bersalah karena menggunakan dana milik Yayasan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (YLPPI) senilai Rp 100 miliar untuk bantuan hukum lima mantan pejabat BI, penyelesaian kasus BLBI, dan amandemen UU BI.
Tindakan Burhanuddin dilakukan bersama-sama dengan para Deputi Gubernur Bank Indonesia, yakni Aulia Tantowi Pohan, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tadjuddin. Pada Oktober 2008 Burhanuddin divonis lima tahun penjara subsider enam bulan kurungan dan denda sebesar Rp 250 juta.
Keputusan untuk menggunakan uang yayasan itu diambil dalam rapat Dewan Gubernur pada 3 Juni 2003. Dari jumlah Rp100 miliar yang dicairkan, Rp68,5 miliar di antaranya digunakan untuk dana bantuan hukum bagi lima mantan pejabat BI, yaitu Sudradjad Djiwandono, Paul Sutopo, Hendro Budiyanto, Iwan R. Prawiranata dan Heru Supraptomo.
Selebihnya, yakni Rp 31,5 miliar, kemudian diberikan kepada perwakilan Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat. Tujuan pemberian antara lain untuk membiayai diseminasi dalam proses amendemen Undang-Undang BI.
Sekadar mengingatkan, kelima petinggi BI yang dibantu oleh Burhanuddin diseret ke meja hijau dengan tuduhan menyalurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk 44 bank yang semestinya tidak berhak sebesar Rp53,40 triliun. BLBI itu disalurkan tahun 1998 menjelang Indonesia terpuruk akibat krisis moneter.
Ulah para pejabat BI ini ditengarai disalahgunakan oleh para penerima BLBI. Uang itu justru dimanfaatkan untuk memborong mata uang dolar AS. Akibatnya rupiah semakin ambruk. Toh untuk “dosa” seberat itu pada tahun 2005 Mahkamah Agung hanya mengganjar mereka dengan hukuman satu tahun enam bulan.
Gaji Gubernur dan Direksi BI
Sesungguhnya tak ada alasan pemaaf bagi petinggi BI untuk melakukan korupsi. Dari sisi gaji mereka dipastikan lebih dari cukup. Saban bulan seorang gubernur BI paling tidak menerima Rp200-250 juta per bulan.
Kekayaan Perry Warjiyo sendiri merujuk data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2021 –dia belum melaporkan kekayaan tahun 2022-2024—mencapai Rp45,25 miliar. Kekayaannya meningkat Rp22,9 miliar sejak dia menjabat sebagai orang nomor satu di bank sentral pada 2018.
Pada 2021, Perry melaporkan kepemilikan aset berupa tanah dan bangunan dengan total nilai Rp14,91 miliar, alat transortasi dan mesin senilai Rp375 juta, dan surat berharga mencapai Rp15,08 miliar. Ia juga melaporkan kepemilikan aset pada 2021 berupa kas dan setara kas senilai Rp6,76 miliar, harta bergerak lainnya senilai Rp1,03 miliar, serta harta lainnya senilai Rp7,07 miliar.
Demikian halnya pegawai BI dari level staf hingga Deputi Gubernur Senior pendapatannya jauh lebih besar dari instansi lainnya. Pendapatan mereka berkisar Rp15 juta-Rp200 juta. Dengan penghasilan sebesar itu hanya orang serakah saja yang tidak merasa cukup, dan masih mencari peluang untuk menggendutkan rekeningnya.
Kasus yang sekali lagi mendera BI ini hendaknya menjadi momentum bagi seluruh penegak hukum untuk menegakkan keadilan. Jatuhkan hukuman seberat-beratnya buat koruptor. Beri efek jera.
Jangan sampai rakyat yang selalu dipaksa untuk menambal kebutuhan negara terus dikhianati oleh para pejabat. Sudah gajinya dipotong beragam pungutan, eh, yang menikmati malah tikus-tikus berdasi berembel-embel “yang terhormat”.