Bank Indonesia Kembali Tahan Suku Bunga Acuan 3,5 Persen
- Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan BI-7 Days Reverse Repo Rate 3,5%.
Pasar Modal
JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan BI-7 Days Reverse Repo Rate 3,5%. Otoritas moneter juga menahan suku bunga deposit facility sebesar 2,75% dan lending facility 4,25%.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan menahan suku bunga acuan ini perlu dilakukan untuk mengungkit nilai inflasi yang masih rendah di Indonesia. Selain itu, kebijakan ini dinilai akomodatif untuk mengantisipasi shock akibat adanya krisis Evergrande Group dari Tiongkok serta tapering off The Fed.
“Keputusan ini perlu untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah rendahnya inflasi. Isu kegagalan gagal bayar di Tiongkok dan tapering The Fed dan peningkatan kasus COVID-19 mempengaruhi aliran portofolio investasi ke negara berkembang, termasuk di Indonesia,” jelas Perry dalam konferensi pers, Selasa, 21 September 2021.
- Yuk! Sulap Balkon Rumah Jadi Taman
- UMKM Naik Kelas! Mitra Bukalapak Pimpin Penetrasi Bisnis O2O Hingga 42 Persen
- Subholding Gas Pertamina Uji Pasar Program PGN Sayang Ibu Gaskita di Wilayah Jakarta Tangerang
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2021 parkir di level inflasi 0,03% month to month (mom). Adapun mengenai tapering off, Perry mengatakan dampaknya tidak akan membuat adanya taper tantrum yang pernah dialami Indonesia pada 2013.
“Pemantauan respon kebijakan BI terhadap tapering terus dilakukan. Dengan berbagai asesmen, insyaallah dampak tapering bisa diantisipasi dan lebih rendah dibandingkan taper tantrum, 2013,” papar Perry
Perry menyebut tapering off The Fed kemungkinan mulai terjadi pada November 2021. Sementara itu, Fund rate diramal baru bisa dinaikan The Fed pada kuartal III-2022.
Dirinya membeberkan ada tiga alasan utama tapering off tidak akan mengguncang pasar keuangan Indonesia. Pertama, komunikasi The Fed yang berjalan baik dengan stakeholder terkait, termasuk investor hingga otoritas moneter di berbagai negara.
Kedua, strategi triple intervention BI melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), dan sekunder.
Strategi kedua ini membuahkan hasil yang tidak mengecewakan. Hal ini tercermin dari depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sebesar 1,5% year to date (ytd) hingga 20 September 2021.
Triple intervention juga membuat yield SBN berhasil terkendali. Sempat melesat hingga 6,8% pada awal tahun, yield SBN kini secara perlahan terus turun ke level 6,17% pada 20 September 2021.
“Relatif lebih rendah dibandingkan mata uang negara berkembang lainnya. Ketiga, didorong oleh ketahan ekonomi Indonesia yang membaik,” tegas Perry.
Ketahanan ekonomi Indonesia yang semakin menguat ditinjau dari current account deficit (CAD) yang terkendali di level 0,6%-1,4% Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan posisi pada 2018 yang sempat menyentuh 3% PDB
“Ketahan ekonomi kita sudah membaik. Sehingga, insyaallah dampaknya tidak akan seperti taper tantrum pada 2013 lalu,” jelas Perry.
BI kemudian memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2021 tetap bisa mencapai 3,5%-4,3% year on year (yoy). Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini ditaksir otoritas moneter menyentuh 5,8% yoy.