<p>Karyawan beraktivitas di salah satu cabang Bank Negara Indonesia (BNI) di Jakarta, Rabu, 23 Juni 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Bank Jumbo Berpotensi Rogoh Kocek Lebih Saat Caplok Bank Mini, Mengapa?

  • JAKARTA - Emiten perbankan jumbo ramai melakukan aksi korporasi akuisisi dan merger pada 2021. Sebagian besar di antaranya membidik bank dengan modal inti di ba
Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA - Emiten perbankan jumbo ramai melakukan aksi korporasi akuisisi dan merger pada 2021. Sebagian besar di antaranya membidik bank dengan modal inti di bawah Rp3 triliun sebagai target partner.

Langkah ini dinilai lebih efisien ketimbang mendirikan entitas bank baru. Pasalnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengisyaratkan adanya minimum modal inti bank baru di angka Rp10 triliun. 

Di sisi lain, bank mini tidak perlu lagi dipusingkan untuk mengerek modal inti minimum Rp2 triliun pada akhir 2021 dan Rp3 triliun pada 2022. Kendati secara kasat mata akuisisi lebih efektif, rupanya aksi ini masih menyimpan potensi pembengkakan biaya bagi bank jumbo dalam memahat bisnis bank mini.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut kondisi bisnis bank mini sejatinya belum se-mapan bank jumbo. Hal ini tercermin dari masih tingginya rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) di bank mini.

“BOPO di bank-bank kecil ini masih sangat tinggi sehingga secara bisnis masih belum efektif,” jelas Bhima kepada TrenAsia.com, Rabu, 10 November 2021.

Dirinya pun menyebut bank jumbo yang akan mengakuisisi bank mini sebenarnya punya tantangan besar dalam memahat efisiensi bisnisnya. Ambil contoh Bank Mayora yang santer dikabarkan akan diakuisisi oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI).

Berdasarkan laporan keuangan semester I-2021, Bank Mayora mencatatkan BOPO di level 67,92%. Hal ini disebabkan oleh pendapatan operasional yang hanya berselisih tipis dengan biaya operasional.

Bank yang terafiliasi dengan PT Mayora Indah Tbk (MYOR) ini membukukan pendapatan bunga Rp249,82 miliar pada semester I-2021 atau turun 7% year on year (yoy) dibandingkan semester I-2020 yang sebesar Rp270,01 miliar. 

Di sisi lain, beban operasional dan beban bunga Bank Mayora pada semester I-2021 parkir di level Rp110,88 miliar dan Rp119,68 miliar.  Dengan adanya akuisisi, kata Bhima, praktis BBNI harus turun tangan mengatasi masalah bisnis di entitas usahanya barunya tersebut. 

Maka dari itu, capaian laba tidak menjadi acuan dalam menilai kondisi keuangan di bank mini. Bank dengan modal inti Rp1,2 triliun ini mengantongi laba bersih tahun berjalan Rp18,53 miliar sepanjang semester I-2021. Laba bersih tersebut melejit 651,5% yoy dibandingkan semester I-2020 yang hanya Rp2,46 miliar.

Bank Mayora sendiri memiliki fokus bisnis di semen retail dan konsumer melalui produk pinjaman dan simpanan. Lebih rinci, pinjamannya berupa, kredit kendaraan bermotor, kredit multiguna, kredit pemilikan rumah, pinjaman rekening koran,, dan pinjaman berjangka.

PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) milik konglomerat Eddy Kusnadi Sariaatmadja, melalui anak usahanya PT Elang Media Visitama (EMV) tampak lebih beruntung memilih untuk mengakuisisi Bank Fama Internasional. Pasalnya, memiliki BOPO jauh lebih rendah dibandingkan Bank Mayora.

Sebelumnya, EMV merencanakan akan mengambil alih 93% kepemilikan Bank Fama.Melalui prospektus ringkasnya, EMV akan melakukan pembelian sebanyak 9.089.503.800 lembar saham Bank Fama dengan nilai transaksi sebesar Rp908,95 miliar. 

Rencananya, pendanaan transaksi pengambilalihan akan menggunakan dana internal EMV. Secara rinci, EMV membeli 4.428.701.427 lembar saham Bank Fama dari Junus Jen Suherman, 1.704.285.876 lembar dari Edi Susanto, 1.704.285.876 unit saham dari Dewi Janti, dan 1.252.230.621 milik PT Surya Putra Mandiri Sejahtera.

Pada semester I-2021, BOPO Bank Fama parkir di level 34,16% atau hampir tiga kali lebih rendah dibandingkan Bank Mayora. Bank Fama meraup pendapatan bunga Rp53,17 miliar pada semester I-2021 atau menurun dibandingkan semester I-2020 yang sebesar Rp57,59 miliar.

Adapun pendapatan lain yang diraup Bank Fama sebesar Rp5,75 miliar. Di sisi lain, beban bunga dan beban operasional Bank Fama pada semester I-2021 parkir di level Rp10,56 miliar dan Rp9,57 miliar.

Dengan begitu, laba bersih Bank Fama meningkat dari Rp11,74 miliar pada semester I-2020 menjadi Rp27,99 miliar pada semester I-2021. Adapun modal inti Bank Fama saat ini masih berada di angka Rp1 triliun.

Selain itu, ada PT Bank Bisnis Internasional Tbk (BBSI) yang mengumumkan telah resmi memiliki kendali baru, PT Finaccel Teknologi Indonesia atau Kredivo pada 15 Oktober 2021. Hal ini ditandai dengan meningkatnay kepemilikan saham Kredivo di BBSI dari 24% menjadi 40%

Kendati demikian, Bhima menilai bank mini masih punya ketergantungan berlebih pada kantor cabang. Hal ini membuat efisiensi bisnis di bank mini masih lemah.

“Masalah lain biasanya yang ditemukan adalah bank kecil ini masih sangat mengandalkan kantor cabang,” ujar Bhima.