Ilustrasi bank digital di Indonesia. Infografis: Deva Satria/TrenAsia
Industri

Bank Jumbo Ikut FOMO Booming Fintech Paylater

  • Bank jumbo tampaknya demam FOMO (fear of missing out) alias rasa takut merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti arus gempuran fintech paylater.
Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Beli sekarang, bayar nanti. Slogan semacam itu semakin akrab di telinga masyarakat Indonesia beberapa waktu ini.

Munculnya metode pembayaran paylater disadari semakin memudahkan masyarakat Indonesia untuk berbelanja secara daring. Apalagi, Indonesia tengah kebanjiran sederet platform financial technology (fintech) yang turut menyediakan akses pay later.

Menurut data yang dihimpun TrenAsia.com, bunga terendah paylater dimulai di angka 2,14% dengan tenor 3-12 bulan. Berikut paylater dengan bunga terendah:

PlatformSuku BungaTenorLimit
Kredivo2,95%3-12 bulanRp30 juta
Home Credit3,49%1-9 bulanRp1,2 juta
Ovo Paylater2,9%3-12 bulanRp10 juta
Traveloka Paylater2,14%-4,78%Maksimal 12 bulanRp50 juta
Shopee Paylater2,95%1-3 bulanSesuai dengan jumlah transaksi

Memiliki likuiditas yang lebih baik ketimbang fintech, industri perbankan akhirnya melirik bisnis paylater. Mengambil peran sebagai lender, sejumlah perbankan kini tercatat tengah getol mencari platform digital. Bank jumbo tampaknya demam FOMO (fear of missing out) alias rasa takut merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti arus gempuran fintech paylater.

Tujuannya jelas, paylater diharapkan menjadi pengerek pendapatan bunga. Pasalnya, metode ini diketahui memiliki bunga relatif lebih tinggi dengan tenor singkat. Direktur Konsumer PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) Lani Darmawan mengaku kepincut dengan lini bisnis paylater ini.

Dirinya membeberkan perseroan tengah dalam tahap uji coba pengembangan metode paylater tersebut.

“Saat ini kami berkolaborasi dengan fintech untuk mempersiapkan paylater ini. Sebenarnya skemanya mirip dengan KTA (Kredit Tanpa Agunan) dalam kredit konsumer, hanya saja paylater lebih spesifik,” papar Lani saat diwawancarai TrenAsia.com, Rabu, 15 September 2021.

Kendati demikian, dirinya masih belum bisa membeberkan fintech apa saja yang bakal digandeng perseroan. Lani optimistis paylater ini bisa mendorong kredit segmen konsumer CIMB Niaga.

“Masih kami godok. Nanti pas sudah siap diinfokan ya,” jelas Lani.

Merambahnya CIMB Niaga ke lini bisnis paylater rupanya sejalan dengan komposisi kredit perseroan yang didominasi segmen konsumer. Berdasarkan laporan CIMB Niaga, kredit konsumer mencapai Rp16,58 triliun pada semester I-2021.

Angka ini lebih tinggi ketimbang kredit modal kerja dan investasi yang masing-masing sebesar Rp5,39 trilun dan Rp3,72 triliun pada semester I-2021. perseroan tercatat telah menyalurkan kredit sebesar Rp138,74 triliun, susut 2,23% year to date (ytd). Adapun, pembiayaan syariah tumbuh 5,36% ytd menjadi Rp34,61 triliun.

Meski paylater CIMB Niaga masih digodok, kredit konsumer telah menunjukan pertumbuhan pesat per Juli 2021. Lani melaporkan kredit konsumer per Juli 2021 telah mengalami pertumbuhan 5%-6% year on year (yoy). Penyaluran ini didorong oleh segmen Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang melaju 7% yoy pada Juli 2021.

Diramaikan Bank Jumbo

Gedung Bank Rakyat Indonesia (BRI) di kawasan Sudirman, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Persaingan industri perbankan dalam paylater diprediksi semakin ketat. Kondisi ini terjadi sebab bank-bank jumbo pun ikut turun dalam mengeruk pendapatan dari lini bisnis tersebut.

Bank dengan aset tertinggi ke-7 di Indonesia, PT Bank Permata Tbk (BNLI) juga menyatakan ketertarikannya terhadap segmen paylater. Direktur Retail Banking BNLI Djumariah Tenteram mengatakan bakal menggalakan paylater agar target pertumbuhan kredit ritel 5% yoy pada 2021 tercapai.

“Area paylater, baik secara langsung dari perseroan atau pun melalui mitra akan kami galakan,” jelas Djumariah saat ditanya wartawan TrenAsia.com, Selasa, 14 September 2021.

Bedanya, Bank Permata sudah lebih dulu menggandeng platform e-commerce Akulaku sebagai penyalur dana.  Hingga Semester I-2021, Akulaku mengklaim telah menyalurkan pembiayaan sebesar RP4,9 triliun. Profil risiko terjaga dengan tingkat non performing financing (NPF) 0,6% pada paruh pertama tahun ini.

Tidak ingin ketinggalan, emiten pelat merah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) juga ikut menggarap bisnis paylater. BRI telah mengunci Traveloka sebagai mitra dalam pembiayaan.

“Kami juga telah bekerja sama dengan Traveloka sebagai lifestyle super app sebagai mitra penyaluran paylater,” ucap Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI Indra Utoyo dalam paparan publik pekan lalu.

Dari kerja sama tersebut, BRI meraih penyaluran kredit sebesar Rp556,8 miliar. Lebih rinci, dana itu terdiri dari outstanding sebesar Rp433,7 miliar dan bunga Rp123,1 miliar kepada 6.030 pengguna.

Meski lini bisnis semakin diramaikan oleh bank jumbo, sejatinya bank-bank minilah yang lebih dulu melihat potensi paylater ini. PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) misalnya, yang telah bekerja sama dengan 15 fintech untuk pembiayaan segmen konsumer.

“Target Bank Neo memperbesar penyaluran kredit antara lain melalui skema channeling dan bekerja sama dengan beberapa fintech. Beberapa waktu lalu, kami juga menambah kerja sama mitra kami dan sampai saat ini penyedia fintech yang telah bekerja sama dengan kami adalah seperti Crowdo, Restock.id, Esta Capital, Modal Rakyat,” ucap Sekretaris Bank Neo Commerce Agnes F Triliana dalam wawancara dengan TrenAsia.com belum lama ini.

Dalam kerja sama dengan Crowdo misalnya, BBYB menyediakan pembiayaan untuk tiga produk, antara lain paylater, micro paylater, dan pinjaman modal kerja.  Lalu, pembiayaan melalui Modal Rakyat yang fokus pada segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) senilai Rp50 miliar.

Setelah mantap menjadi bank digital, BBYB kini fokus menggenjot fungsi intermediasi pada segmen konsumer. Hingga semester I-2021, hasilnya tidak mengecewakan.

Berdasarkan laporan keuangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), BBYB mencatatkan realisasi penyaluran kredit sebesar Rp3,82 triliun atau naik dibandingkan dengan akhir 2020 yang hanya Rp3,66 triliun.

Kredit segmen rumah tangga tampaknya masih menjadi menjadi andalan utama BBYB. Segmen kredit ini mengalami peningkatan hingga 25% year to date (ytd) dari Rp1,8 triliun pada akhir 2020 menjadi Rp2,33 triliun pada semester I-2021.

Kredit segmen rumah tangga menguasai 60% dari postur kredit di Bank Neo Commerce. Ditinjau dari kualitas aset, total kredit bermasalah BBYB mengalami peningkatan dari Rp133,08 triliun pada akhir 2020 menjadi Rp162,28 triliun pada semester I-2021.

Maka, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) net BBYB parkir di level 4,2%. Adapun NPL gross BBYB per semester I-2021 ini mencapai 11%.

Di sisi lain, Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) BBYB meroket 38,55% ytd menjadi Rp4,60 triliun. Secara kumulatif, aset BBYB hingga semester I-2021 ini pun terungkit dari Rp5,42 triliun pada posisi akhir 2020 menjadi Rp,699 triliun pada semester I-2021.

Mengapa Berlomba Menggandeng Mitra?

Ilustrasi kredit online atau pinjaman online (pinjol), peer to peer (P2P) lending resmi / OJK

Baik bank mini mau pun jumbo punya kecenderungan strategi yang sama dalam menggarap bisnis paylater, yakni berlomba menggandeng fintech dengan jangkauan luas serta kualitas kredit yang terjaga.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai strategi itu dinilai lebih efektif ketimbang perbankan mengembangkan sendiri ekosistem digitalnya. Selain lebih efisien secara biaya, strategi ini juga menjadikan perbankan tidak harus terkena “getah” nya bila ada kredit macet.

"Kerja sama antar bank dan aplikasi-aplikasi dapat membatasi risiko perbankan, dan membagi risiko gagal bayar kepada penyedia jasa,” ucap Josua kepada TrenAsia.com, Rabu, 15 September 2021.

Tidak hanya itu, karakteristik paylater dinilai Josua lebih cocok digarap oleh penyedia jasa, bukan perbankan. “Dengan sifatnya yang cenderung ritel, dan membutuhkan ekosistem yang lebih mumpuni, perbankan memang baiknya bekerjasama dibandingkan dengan membuat ekosistem sendiri,” jelas Josua.

Josua berharap kolaborasi fintech dan perbankan ini ikut mengangkat inklusi pembiayaan di Indonesia. Perbankan perlu stakeholder untuk menjangkau lebih banyak nasabah.

Apalagi, rasio kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia masih selangkah di belakang negara-negara tetangga. Rasio kredit bank terhadap PDB di Indonesia bertengger di level 38,7%, lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia 134%, Thailand 160,3% maupun Singapura 132%.