Bank Mandiri Taksir Neraca Pembayaran Bakal Surplus US$7 Miliar Tahun Ini
JAKARTA – Tim ekonomi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memprakirakan neraca pembayaran (balance of payment/ BoP) bakal surplus lebih besar tahun ini menjadi sekitar US$7 miliar, dari US$2,6 miliar pada 2020. Pelebaran surplus tersebut akan didorong oleh defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) yang tetap terkendali, dan aliran modal masuk yang kembali normal. […]
Korporasi
JAKARTA – Tim ekonomi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk memprakirakan neraca pembayaran (balance of payment/ BoP) bakal surplus lebih besar tahun ini menjadi sekitar US$7 miliar, dari US$2,6 miliar pada 2020.
Pelebaran surplus tersebut akan didorong oleh defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) yang tetap terkendali, dan aliran modal masuk yang kembali normal.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Membaiknya perkembangan BoP akan berdampak positif pada prospek cadangan devisa. Sehingga mampu menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sepanjang 2021 ini.
“Peningkatan cadangan devisa mengkompensasi besarnya volatilitas pasar dan aliran modal asing keluar dari surat berharga negara (SBN),” tulis Bank Mandiri dalam Economic Review, Senin, 8 Maret 2021.
Volatilitas di pasar keuangan cenderung mengalami kenaikan terutama sejak akhir pekan lalu. Pada penutupan Jumat, 5 Maret 2021, nilai tukar rupiah ditutup pada Rp14.300/US$, terendah sejak November 2020. Artinya, rupiah telah melemah 1,8% dibandingkan dengan posisi di akhir 2020.
Sementara itu, SBN di hari Jumat lalu ditutup pada posisi 6,69%, tertinggi sejak Oktober 2020. Arus modal asing keluar tercatat cukup besar sejak 18 Februari 2021.
Kekhawatiran Inflasi
Dari tanggal 18 Februari hingga 3 Maret 2021 telah terjadi arus modal asing keluar dari SBN mencapai RP36,7 triliun, atau sekitar US$2,6 miliar.
“Volatilitas yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir disebabkan oleh kekhawatiran akan peningkatan inflasi di Amerika Serikat seiring dengan pemulihan kondisi ekonomi karena dampak besarnya stimulus fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah AS serta kebijakan quantitative easing (QE) oleh the Fed.”
Kekhawatiran inflasi tersebut menciptakan volatilitas imbal hasil Surat Utang pemerintah AS atau US Treasury (UST) yang meningkat signifikan. Dampaknya, hal itu memberikan tekanan besar kepada pasar keuangan global, terutama di negara berkembang.
Perkembangan data ketenagakerjaan AS yang dipublikasikan pada hari Jumat lalu menunjukkan perkembangan yang lebih baik dari ekspektasi. Hal ini akan meningkatkan spekulasi bahwa pemulihan ekonomi AS akan berjalan lebih cepat dari ekspektasi.
“Ssehingga masih akan ada potensi kenaikan imbal hasil UST dalam beberapa waktu ke depan. Dengan meningkat,” tambahnya.