BANKING EVERYWHERE: Jalan Panjang Industri Perbankan Menuju Era Digital 4.0
- Untuk memahami perkembangan industri perbankan secara serius, TrenAsia.com telah melakukan diskusi dengan pakar ekonomi perbankan sekaligus dosen pascasarjana STIE Indonesia Banking School, Batara Simatupang.
Banking Everywhere
BANKING EVERYWHERE – Di tengah rintikan hujan sore itu, Erika tengah asyik duduk di teras rumah sambil memilih produk pakaian di platform e-commerce yang diunduh dari ponsel pintar miliknya. Sudah hampir satu jam kegalauan menyelapi dirinya, tak tau baju macam apa yang harus ia beli.
Ratusan jenis baju dari berbagai model, warna, dan merek penuh di menu wishlist. Tak selang lama, rasa bimbang mulai pudar. Keyakinan untuk memilih satu produk baju mulai tampak dari raut wajahnya diiringi anggukan ringan seolah memberikan tanda ia mulai menemukan pilihan.
Baju berbahan linen dengan motif bunga akhirnya menjadi pemenang di hati ibu beranak satu itu. Karena takut berubah pikiran, ia secepat mungkin menyelesaikan transaksi pembelian. Metode pembayaran yang dirinya gunakan adalah via bank melalui virtual account.
- 5 Pantangan Saat Sambut Tahun Baru Imlek, Jangan Dilakukan Jika Tidak Ingin Sial
- Sharp Boyong Laptop Teringan di Dunia ke Indonesia
- Catat Kinerja Apik di 2021, Begini Strategi dan Prospek Bank Mandiri (BMRI) Tahun Ini
Setelah melakukan check-out pada aplikasi perdagangan elektronik itu, Erika kemudian membuka aplikasi bank miliknya. Ia tidak terlihat kesulitan sama sekali saat melakukan pembayaran dengan metode ini. Maklum, di usianya yang menginjak 35 tahun, Erika masih tergolong generasi milenial, bukan generasi sebelumnya yang mayoritas awam soal teknologi.
Saat melakukan transaksi, ibu rumah tangga satu ini bahkan tidak perlu lagi menuliskan kode pembayaran. Aplikasi mobile banking itu seakan terintegrasi dengan platform tempat ia berbelanja, sehingga jumlah tagihan muncul secara otomatis. Ia hanya perlu menyetujui pembayaran dan transaksi pembelian selesai. Selebihnya, sistem yang bekerja.
Apa yang dilakukan Erika merupakan bukti praktik digitalisasi perbankan dapat mempermudah masyarakat untuk melakukan berbagai transaksi. Jika bukan karena kemudahan itu, bisa saja kegamangan kembali muncul dalam dirinya saat berjalan menuju anjungan tunai mandiri (ATM) untuk menuntaskan transaksi. Apalagi saat itu hujan mulai turun deras dan membuat dirinya kian malas keluar rumah.
Kendati menikmati fasilitas itu, agaknya Erika kurang memahami atau bahkan tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang asal-usul aplikasi mobile banking yang dipakainya. Pada kenyataannya, perangkat tersebut tercipta pada era perbankan 3.0, yakni periode dimulai terjadi disrupsi teknologi.
BANKING EVERYWHERE: Pembabakan Era Perbankan
Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, tanpa kecuali Erika, seorang pakar ekonomi perbankan sekaligus dosen pascasarjana STIE Indonesia Banking School, Batara Simatupang akan menjelaskan perkembangan industri perbankan dari masa ke masa. Ia juga dikenal sebagai penulis buku Perbankan Digital: Menuju Bank 4.0.
Batara bilang, terdapat beberapa perbedaan mendasar yang dapat diamati dari perkembangan industri jasa keuangan ini. Sejatinya, kata Batara, revolusi perbankan terjadi sebagai bentuk respons terhadap kemajuan teknologi informasi (IT).
Bank 1.0
Hal ini memaksa perbankan berkreasi dalam mengutilisasi IT secara maksimal. Sedangkan, embrio Bank 1.0 sendiri muncul pada 1472 dan berakhir pada 1980. Fase ini beriringan dengan revolusi industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap yang nantinya mengubah Inggris Raya menjadi negara industrialisasi pertama di dunia.
- 6 Negara yang Miliki Jalan Tol Bawah Air
- DJP Jelaskan Alasan Ghozali Wajib Bayar Pajak meski Belum Ada Skema Pajak Kripto
- Wow! Semburan Lapindo Ternyata Menyimpan Harta Karun Mineral Langka
Dalam pelajaran sejarah umum, James Watt dikenal sebagai penemu mesin uap. Dirinya digadang-gadang sebagai pria yang paling berjasa dalam dunia industri. Di sisi lain, Emma Marriot menyangkalnya melalui buku yang berjudul Bad History: How We Got The Past Wrong.
Berdasarkan hasil penulusuran Emma, mesin uap pertama justru ditemukan oleh Newcomen pada 1712 atau tujuh puluh tahun sebelum klaim James Watt atas mesin uap. Kala itu, Newcomen menggunakan uap air untuk menggerakan piston dan silinder.
Hanya saja, James Watt pernah diminta untuk memperbaiki mesin Newcomen yang kerap kepanasan sehingga silindernya harus didinginkan tiap saat. Karya Newcomen ini yang kemudian dikembangkan oleh James Watt saat ia bekerja di Glasgow University pada tahun 1763 – 1764.
Melalui buku tersebut, Emma mencoba untuk mengungkap kebenaran. Ia juga ingin industrialisasi dunia menyematkan penghargaan tertinggi kepada Newcomen. Akan tetapi James Watt sudah terlanjur dicatat sejarah sebagai penemu mesin uap.
Di tengah perdebatan itu, era Bank 1.0 memiliki caranya sendiri untuk berkembang dan ditandai dengan menjamurnya berbagai kantor cabang dan rekrutmen pegawai bank. Namun, titik balik Bank 1.0 sedikit lebih canggih dibandingkan dengan revolusi industri secara umum.
Pada fase ini, perbankan telah menggunakan mainframe sebagai core banking system. Cara kerjanya seperti komputer, tapi lebih sederhana dari itu. Bisa dibilang penggunaan mainframe menjadi titik awal digitalisasi perbankan global, layaknya mesin uap mengawali revolusi industri.
Sementara, kehadiran De Javasche Bank NV pada 1828 menjadi sinyal dimulainya era perbankan di Tanah Air. Bank tersebut menjadi salah satu peninggalan jajahan Belanda yang masih diteruskan Indonesia hingga sekarang setelah dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) pada 1953.
“Bank positioning pada era ini wajib melakukan pertemuan fisik dan memanfaatkan mainframe di back office,” jelas Batara belum lama ini.
Bank 2.0
Sekelumit tentang era digitalisasi bank pertama dan nasionalisasi BI, saatnya bergeser menuju Bank 2.0 yang terjadi pada rentang tahun 1980 – 2007. Batara menyebut metode self-service banking mulai diimplementasikan melalui pemanfaatan ATM pada era ini. Sehingga transaksi manual mulai berkurang walaupun belum signifikan.
Pada 1987, Bank Niaga (sekarang PT Bank CIMB Niaga Tbk) menjadi pemain awal di Indonesia yang menggunakan mesin tarik tunai itu. Sedangkan, pada awal era milenium tepatnya tahun 2000, PT Bank Central Asia Tbk alias Bank BCA berhasil menghadirkan layanan internet banking pertama bagi nasabah.
Pakar Digital Banking sekaligus CEO TEZ Capital, Arwin Rasyid justru berpendapat pengembangan internet banking di dalam negeri diinisiasi oleh CIMB Niaga. Namun memang pemanfaatannya sedikit berbeda dengan Bank BCA.
Pada tahap pertama, internet banking digunakan CIMB Niaga untuk kebutuhan internal perusahaan, bukan pelayanan nasabah secara langsung, contohnya dalam memberikan layanan transaksi melalui ATM. Sudah barang tentu mesin semacam ini memerlukan sistem internet untuk mengoperasikannya.
Bank 3.0
Selanjutnya, kemunculan ponsel pintar (smartphone) menjadi ciri meredupnya pemanfaatan ATM dan internet banking, sekaligus lahirnya era Bank 3.0. Di fase ini, kemudahan transaksi perbankan ada pada genggaman tangan, seperti apa yang dilakukan Erika di awal bacaan.
Kemunculan aplikasi khusus seperti mobile banking sudah populer. Bahkan peningkatan layanannya dapat dirasakan dari waktu ke waktu. Pelaku perbankan seakan berlomba menjadi yang pertama dalam menciptakan fitur-fitur baru. Batara mencatat setidaknya 65 bank telah mengeluarkan produk mobile banking pada rentang 2007 – 2017.
Bank 4.0 Menuju Banking Everywhere
Melanjutkan perkembangan sebelumnya, di era Bank 4.0 para pelaku perbankan melakukan apa yang disebut desain ulang (re-designing) dengan pendekatan technology driven, bertumpu pada Artificial Intelligence (AI), Big Data, Internet of Things (IoT), Cloud Computing, dan Biometric.
Sederhananya, bank akan memperhatikan dengan seksama akan pemanfaatan teknologi dan pengetahuan terkini, inovasi evolusioner, fokus pada utilisasi bank, dan juga mempertimbangkan orientasi terhadap pelanggan.
Senada dengan hal tersebut, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menggambarkan bahwa semestinya para nasabah tidak perlu lagi ke kantor cabang pada era 4.0. Karena pelayanan sepenuhnya dijalankan oleh kecerdasan buatan.
“Dalam era 4.0 terjadi efisiensi yang sangat ekstrem, sehingga bank tidak perlu mengeluarkan dana untuk sewa bangunan dan gaji pegawai yang cukup boros,” urai dia saat dihubungi TrenAsia.com.
- Mobil Terbang Milik Perusahaan Slovakia Telah Mendapat Izin Terbang
- Mengenal Rumah Kopel, Hunian Murah Cocok Bagi Pasangan Muda
- Satgas BLBI Sita Aset Obligor Santoso Sumali, Sisa Utang Rp511,56 Miliar
Melalui penjelasan tersebut, tidak salah jika timbul opini bahwa kita selangkah menuju aktivitas perbankan yang bisa dilakukan di mana pun tanpa harus melakukannya di bank itu sendiri. “Banking is no longer somewhere you go, it’s something you do. Banking everywhere, never at bank.”
Kata banking everywhere dalam kutipan itu telah masyhur di kalangan ekonom, bankir, dan pelaku start up global di bidang keuangan. Pencetusnya adalah Brett King, seorang futuris berkebangsaan Australia sekaligus founder dan CEO perusahaan rintisan mobile banking bernama Moven.
Bhima sendiri mendefinisikan banking everywhere sebagai aktivitas transaksi perbankan yang tidak terikat oleh tempat maupun batasan waktu, melainkan hanya perlu jaringan internet yang stabil. Dalam fenomena ini, jumlah kantor perbankan menjadi tidak lagi relevan.
Di dalam negeri, istilah banking everywhere belum banyak dikenal. Terlebih lagi untuk mewujudkannya, tentu memiliki tantangan tersendiri. Bhima berpendapat, bank yang memiliki tingkat akselerasi teknologi terbaik menjadi pihak yang paling siap menerapkan prinsip banking everywhere.
Tapi itu saja tidak cukup. Bagi dia, perilaku masyarakat dalam menyikapi percepatan teknologi juga menjadi soal, terutama penduduk pelosok dengan tingkat digitalisasi rendah.
Konsekuensinya, praktik banking everywhere baru bisa diserap dengan baik oleh masyarakat yang memiliki adaptasi teknologi yang tinggi pula. Kelompok ini sebagian besar diwakili oleh para nasabah yang hidup di perkotaan.
Maka dari itu, kesenjangan akses internet disinyalir menjadi salah satu faktor penghambat keberhasilan banking everywhere. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat pengguna internet di Indonesia telah mencapai 202,35 juta orang per Januari 2021, atau 76,8% dari total populasi.
Meski jumlahnya cukup banyak, Juru Bicara Kominfo, Dedy Permadi menyatakan bahwa masih terdapat kesenjangan yang terjadi di tengah masyarakat. Kesenjangan yang dimaksud bukan seberapa besar orang yang dapat mengakses internet, melainkan kecakapan serta literasi digital tiap pribadi.
"Artinya tidak semua yang menggunakan internet sudah cakap digital, terliterasi secara digital," tuturnya dalam Konferensi Pers Survei Indeks Literasi Digital 2021, Kamis, 20 Januari 2022.
Masalah lain yang membayangi adalah kecepatan internet di Bumi Pertiwi. Speedtest Global Index Oktober 2021 mengumumkan rata-rata kecepatan internet Indonesia untuk mobile maupun fixed broadband berada di posisi kedua terbawah se-Asia Tenggara.
Kecepatan internet mobile Indonesia di angka 23,10 Mbps untuk unduhan dan 12,37 Mbps untuk unggahan dengan latensi 36 ms. Posisinya berada di bawah Kamboja, dan di atas Timor Leste.
Sedangkan, kecepatan internet fixed broadband tidak kalah miris. Kecepatan unduhannya hanya 29,55 Mbps, dan 18,18 Mbps untuk unggahan dengan latensi 17 ms. Masih unggul dari Kamboja, namun berada di bawah Brunei.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ingin menunjukan keseriusannya dalam menghadapi fenomena banking everywhere melaui Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia 2020-2025 yang mengamanatkan akselerasi tranformasi digital perbankan.
Hal ini dijabarkan lewat Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan yang diyakini dapat memberikan acuan yang lebih konkret akan digitalisasi perbankan ke depan dalam rangka akselerasi transformasi digital.
Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan berisikan lima elemen utama yaitu data, teknologi, manajemen risiko, kolaborasi, dan tatanan institusi yang perlu diperhatikan dalam proses transformasi digital perbankan.
Melalui artikel ini, akhirnya Erika memahami perjalanan panjang digitalisasi perbankan hingga akhirnya dapat menikmati kemudahan transaksi seperti sekarang. Kendati memiliki banyak rintangan, tapi ia optimistis ke depannya layanan perbankan bakal lebih apik lagi seiring dengan pesatnya kemajuan teknologi. Dirinya jadi tak sabar menunggu gebrakan baru pelaku perbankan di masa yang akan datang.
BACA JUGA:
BANKING EVERYWHERE: Neobank dan Sejarah Bank Digital (Part 1)
BANKING EVERYWHERE: Neobank dan Sejarah Bank Digital (Part 2)
BANKING EVERYWHERE: Neobank dan Sejarah Bank Digital (Part 3 - Habis)