Lanskap gedung bertingkat dan perkantoran diambil dari kawasan Senayan, Jakarta, Selasa, 23 November 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Banking Everywhere

BANKING EVERYWHERE: Neobank dan Sejarah Bank Digital (Part 2)

  • Bank pertama di Indonesia adalah De Javasche Bank (DJB) yang didirikan pada tahun 1828. Bank ini nantinya menjadi cikal bakal Bank Indonesia (BI) sebagi bank sentral.

Banking Everywhere

Daniel Deha

BANKING EVERYWHERE -- Sebagai bagian dari pekikan kolonialisme, negara-negara Eropa yang berambisi menaklukan dunia pun mulai mengembangkan sistem perbankan di negara jajahannya. Selain ke wilayah Amerika Serikat (AS) dan Asia Barat, bangsa-bangsa kolonial tersebut masuk ke Indonesia.

Di Hindia Belanda, nama kuno Indonesia, Belanda, yang menjajah selama 350 tahun menggunakan mata uang Real Spanyol untuk melakukan transaksi di tahun 1602. Masuknya Belanda ke Nusantara melalui maskapai dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang dikenal dengan nama VOC.

Melansir lama resmi Bank Indonesia, pada tahun 1746, bank pertama di Nusantara, belum bernama Indonesia, yang berdiri untuk menunjang kegiatan perdagangan adalah Bank van Courant. Bank ini memiliki tugas untuk memberikan pinjaman dengan jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya. Kemudian, pada 1752, Bank van Courant disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening.

Bank ini bertugas memberikan pinjaman kepada pegawai VOC agar mereka dapat menempatkan dan memutarkan uang mereka pada lembaga ini. Hal ini dilakukan dengan iming-iming imbalan bunga. Bank ini tidak bertahan lama. Tahun 1818 dibubarkan karena krisis keuanggan.

Akhirnya, kolonial Belanda mendirikan De Javasche Bank (DJB), yang nantinya menjadi cikal bakal Bank Indonesia (BI), pada tahun 1828.

Pemerintah Kerajaan Belanda serentak memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada DJB untuk bertindak sebagai bank sirkulasi yang merupakan pertama di Asia.

Sebagai bank sirkulasi, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda. DJB juga digunakan pemerintah kolonial untuk mendukung kebijakan finansial dari Sistem Tanam Paksa tahun 1830.

Mulai tahun ini, DJB pun membuka cabang di beberapa kota seperti Semarang, Surabaya, padang, Makassar, Cirebon dan Pasuruan.

Pembukaan cabang baru terus berlanjut hingga tahun 1870. Sayangnya, pada 1942, DJB dilikuidasi oleh Jepang yang mengusir Belanda dari Nusantara. DJB kembali didirikan Belanda pada tahun 1945 ketika mencoba menguasai Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Lahir BNI

Ilustrasi Gedung BNI / Bni.co.id

Karena sudah merdeka, Indonesia pun membentuk bank sirkulasi untuk melawan dominasi Belanda. Namanya Bank Negara Indonesia (BNI), yang dibentuk pada 1946. Lantas, terjadi perang mata uang. Mata uang pertama RI adalah Oeang Republik Indonesia (ORI) yang berlaku hingga tahun 1949.

Barulah pada tahun 1953, Bank Indonesia dibentuk Presiden Soekarno dengan terlebih dahulu mengakuisisi saham DJB sebesar 97% pada tahun 1951. Melalui Undang-Undang No.11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, BI pun resmi berdiri sebagai bank sentral Indonesia menggantikan DJB.

Kemudian pada tahun 1988, ada kebijakan pemerintah yang mengizinkan pendirian bank baru di Indonesia dalam Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 yang lebih dikenal sebagai Pakto 88 atau Pakto 27. Kebijakan ini memberi angin segar bagi swasta untuk mendirikan bank-bank mereka.

BI baru benar-benar independen pada tahun 1999 setelah melewati krisis moneter. Melalui UU  No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menetapkan tujuan tunggal BI yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, dan menghapuskan tujuan sebagai agen pembangunan.

Sejak periode ini, BI menerapkan rezim kebijakan moneter dengan inflation targeting framework (ITF). Dalam framework ITF, kredibilitas BI dinilai dari kemampuannya mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah. Kedudukan BI makin jelas setelah DPR mengesahkan U No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Memasuki dekade kedua abad ke-21, fungsi BI pun dikerucutkan menjadi lebih fokus setelah DPR mengesahkan UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengalihkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari BI ke OJK.

UU ini membagi ruang lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial lembaga keuangan sebagai kewenangan OJK, sementara pengaturan dan pengawasan makroprudensial menjadi tanggung jawab BI dengan sasaran stabilitas sistem keuangan.

Sebagai bank sentral umumnya di dunia, BI menjaga rekening, dan memberikan kredit bank komersial dan, dalam banyak kasus, mensponsori pemerintah, tetapi umumnya tidak melakukan bisnis dengan masyarakat luas.

Karena memiliki hak untuk mengeluarkan uang kertas, BI pun berfungsi sebagai satu-satunya sumber mata uang kertas negara.

Monopoli mata uang kertas yang dihasilkan memberi bank sentral pengaruh pasar yang signifikan serta aliran pendapatan tertentu layaknya para penguasa Prancis di Abad Pertengahan yang menikmati privilese untuk mencetak koin sendiri.

Bank sentral di era kontemporer ini juga mengelola berbagai tanggung jawab publik, seperti penyediaan cadangan kas tambahan ke bank komersial yang berisiko gagal karena kerugian cadangan yang luar biasa. Tanggung jawab lainnya termasuk mengatur suku bunga dan nilai tukar, mengatur bank komersial, dan bertindak sebagai agen fiskal pemerintah.

Selain bank sentral atau BI, ada sejumlah bank lain yang melayani sistem perbankan di Indonesia. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Desember 2021, terdapat 107 bank di Indonesia yang terdiri dari 4 bank umum (negara), 68 bank swasta nasional 27 bank pembangunan daerah dan 8 kantor cabang bank asing.

Bank-bank ini ada yang sudah lama berdiri tetapi ada yang baru saja dibentuk. Bank BRI, misalnya, merupakan bank tertua yang berdiri pada tahun 1895 di Purwokerto, Jawa Tengah. Bank ini didirikan dengan nama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden, sebagai lembaga keuangan milik kaum priyayi Purwokerto.

Bank BRI baru resmi diakuisisi pemerintah pada tahun 1946 bersamaan dengan transformasi DJB menjadi Bank BNI. Baru pada 1 Agustus 1992, sesuai UU Perbankan No.7 tahun 1992 dan PP No. 21, status Bank BRI berubah jadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero).

Beberapa bank swasta pun mulai ramai terbentuk pada era 1980-an hingga sekarang. Diantara beberapa yang paling mutakhir adalah ramainya pembentukan bank digital.

Baca Juga: 

BANKING EVERYWHERE: Neobank dan Sejarah Bank Digital (Part 1)

Bank Digital Dibahas Warganet di Twitter, Seperti Apa?