logo
Utang.
Makroekonomi

Banyak Negara Justru Bangkrut, Mengapa Bantuan IMF Acap Tidak Efektif?

  • Bantuan IMF sering kali dianggap sebagai solusi krisis ekonomi, tetapi banyak negara justru mengalami kemerosotan ekonomi setelah menerima pinjaman. Mengapa hal ini terjadi? Simak analisis kegagalan IMF dan urgensi reformasi kebijakan

Makroekonomi

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Dana Moneter Internasional (IMF) merupakan organisasi internasional yang dibentuk untuk membantu negara-negara di seluruh dunia menangani krisis ekonomi. Caranya dengan memberikan pinjaman dan saran kebijakan.

Namun, alih-alih menjadi solusi, banyak negara justru mengalami kemerosotan ekonomi setelah menerima bantuan IMF. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa bantuan IMF sering kali gagal?

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh University of Glasgow pada tahun 2021, dari 763 program yang dijalankan IMF selama periode 1985-2015, sebanyak 512 di antaranya mengalami kegagalan dalam membantu pemulihan ekonomi negara penerima pinjaman. 

Dari hasil penelitian tersebut, berikut beberapa alasan utama mengapa bantuan IMF tidak efektif,

IMF sering kali memberikan kebijakan standar kepada semua negara peminjam tanpa mempertimbangkan perbedaan kondisi ekonomi, sosial, dan politik setiap negara. Pendekatan ini justru memperburuk situasi karena tidak menyesuaikan dengan kebutuhan spesifik masing-masing negara.

Dikutip dari artikel terbitan Harvard International, tahun 2001 berjudul "Failure of the fund: Rethinking the IMF response", Ekonom pemenang Nobel, Joseph E. Stiglitz, mengkritik IMF karena terlalu menekankan liberalisasi pasar dan privatisasi aset negara sebagai solusi utama. 

Sayangnya, kebijakan ini sering kali tidak cocok dengan struktur ekonomi negara peminjam, sehingga justru menimbulkan ketimpangan dan meningkatkan kemiskinan.

IMF memberikan pinjaman dengan berbagai syarat ketat yang sering kali menyebabkan negara peminjam justru terjebak dalam siklus utang. Alih-alih pulih, mereka malah semakin kesulitan membayar utang beserta bunganya, sehingga krisis ekonomi semakin parah. 

Banyak negara yang kembali meminta bantuan IMF setelah gagal menjalankan program sebelumnya. Ketergantungan ini menciptakan lingkaran setan, di mana negara-negara tersebut tidak pernah benar-benar mandiri dalam membangun ekonominya.

Reformasi IMF Dirasa Perlu

Kegagalan suatu negara dalam menjalankan program Dana Moneter Internasional (IMF) dapat menimbulkan dampak ekonomi yang luas dan berkelanjutan. 

Salah satu konsekuensi utama adalah meningkatnya angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, karena banyak perusahaan terpaksa melakukan efisiensi untuk bertahan di tengah tekanan ekonomi. 

Selain itu, lonjakan inflasi yang tidak terkendali menyebabkan harga barang kebutuhan pokok melonjak drastis, sehingga daya beli masyarakat merosot tajam. 

Kondisi ini diperparah dengan kolapsnya sektor bisnis, di mana banyak perusahaan tidak mampu bertahan akibat kebijakan IMF yang dinilai terlalu ketat dan tidak fleksibel terhadap situasi domestik negara penerima pinjaman.

Melihat dampak negatif yang berulang kali terjadi, sejumlah ekonom menilai bahwa reformasi dalam sistem pinjaman IMF menjadi suatu keharusan agar organisasi ini dapat lebih efektif dalam membantu negara peminjam. 

Paul R. Masson (2007) menyarankan agar IMF menerapkan pinjaman berjangka pendek dengan persyaratan yang lebih ringan, sehingga negara penerima dapat lebih leluasa dalam menyesuaikan kebijakan ekonomi tanpa tekanan berlebihan. 

Selain itu, representasi negara berkembang dalam pengambilan keputusan IMF perlu diperkuat agar kebijakan yang diterapkan lebih relevan dengan kondisi ekonomi masing-masing negara.

Negara yang mengalami dampak negatif dari bantuan IMF

Ghana

Ghana awalnya dipuji sebagai contoh sukses binaan IMF, namun akhirnya mengalami krisis utang yang parah. Negara ini terlilit utang dan tidak mampu membayarnya tepat waktu. 

Akhirnya, Ghana menyetujui pinjaman baru senilai US$3 miliar atau sekitar Rp48,9 triliun (kurs Rp16.300) dari IMF dan mengalami krisis keuangan yang menyebabkan banyak perusahaan dan kontraktor merumahkan pekerja.

Sri Lanka

Sri Lanka mengalami krisis ekonomi terparah dalam sejarahnya setelah menerima bantuan IMF. Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe mengungkapkan bahwa negosiasi dengan IMF sangat sulit. 

IMF menyetujui paket penyelamatan senilai US$3 miliar atau sekitar Rp48,9 triliun. Krisis ini menyebabkan lonjakan inflasi, kelangkaan bahan bakar, dan protes besar-besaran.

Indonesia

Indonesia pada tahun 1998 mengalami krisis ekonomi yang semakin parah, memaksa Presiden Soeharto meminta bantuan IMF. Pada tanggal 15 Januari 1998, Soeharto menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF untuk mendapatkan pinjaman US$43 miliar atau sekitar Rp701,9 triliun. 

Sejumlah contoh kasus, seperti yang terjadi di Ghana, Sri Lanka, dan Indonesia, menunjukkan bahwa kebijakan IMF yang bersifat umum dan tidak mempertimbangkan karakteristik khusus setiap negara justru memperburuk krisis ekonomi. 

Di beberapa kasus, program IMF mengharuskan negara untuk melakukan pemotongan subsidi, deregulasi pasar, dan privatisasi aset strategis, yang malah memperdalam kesenjangan sosial dan memperlambat pemulihan ekonomi. 

Oleh karena itu, reformasi dalam mekanisme pinjaman dan kebijakan IMF dinilai mendesak agar organisasi ini benar-benar dapat berperan dalam mendukung pemulihan ekonomi global, tanpa menciptakan ketergantungan atau memperparah kondisi negara yang sedang mengalami krisis.