Baru Naik, PMI Manufaktur Loyo Lagi karena PSBB
JAKARTA – Survei HIS Markit menunjukkan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur nasional kembali melemah empat poin di level 47,2 pada September 2020, setelah sempat bangkit ke 50,8 pada Agustus. Kemerosotan PMI manufaktur ditenggarai sebagai akibat adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta. Alhasil, perusahaan berupaya untuk mengurangi kapasitas dan biaya tambahan seiring dengan […]
Industri
JAKARTA – Survei HIS Markit menunjukkan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur nasional kembali melemah empat poin di level 47,2 pada September 2020, setelah sempat bangkit ke 50,8 pada Agustus.
Kemerosotan PMI manufaktur ditenggarai sebagai akibat adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di DKI Jakarta. Alhasil, perusahaan berupaya untuk mengurangi kapasitas dan biaya tambahan seiring dengan penurunan aktivitas pembelian serta menipisnya inventaris dan penyesuaian inflasi.
“Angka PMI terkini menyatakan bahwa sektor manufaktur Indonesia menghadapi kondisi pengoperasian yang menantang pada beberapa bulan ke depan,” kata Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit dikutip dari laporan survei, Kamis, 1 Oktober 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Dengan terbatasnya pergerakan orang dan barang selama PSBB, praktis mengganggu aktivitas produksi di pabrik. Dari situ akan terus berlanjut ke penurunan penjualan, lalu kenaikan keluangan kapasitas, dan akhirnya terjadi penumpukan pekerjaan.
Ketenagakerjaan pun menurun selama tujuh bulan berturut-turut dengan laju pelepasan kerja secara cepat karena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang telah dilaporkan banyak perusahaan.
Perusahaan juga tercatat mengurangi aktivitas pembelian dan inventaris sebagai bagian dari upaya untuk mengendalikan pengeluaran.
Dari sisi harga, tekanan inflasi membaik pada akhir triwulan ketiga. Rupiah yang lemah dilaporkan mendorong inflasi biaya, meskipun biaya input total naik dengan kecepatan terendah sejak bulan Maret. Biaya output naik pada kisaran marginal sebagaimana bukti anekdotal menunjukkan sejumlah perusahaan memberikan diskon harga untuk merangsang penjualan.
Pembatasan terkait COVID-19 yang kembali diberlakukan juga membatasi kemampuan pemasok untuk mengirimkan pasokan secara tepat waktu. Waktu pengiriman rata-rata diperpanjang selama empat bulan berturut-turut selama September 2020.
Pada akhirnya, harapan mengenai output tahun mendatang sangat tinggi, tetapi optimisme umumnya tersandar pada harapan bahwa pandemi dapat segera dikendalikan.
“Harapan terhadap prospek tahun depan tetap positif, tetapi optimisme bergantung pada perkembangan situasi COVID-19,” ujar Bernard.
Tanggapan Pemerintah
Menanggapi temuan IHS Markit, Kementerian Keuangan merespons bahwasannya kebijakan pemerintah saat ini sudah on-track dan perlu diperkuat dalam penanganan COVID-19.
“Penguatan protokol kesehatan oleh masyarakat sejauh ini merupakan best practice dalam mengendalikan COVID-19, serta mendukung dunia usaha agar dapat bertahan selama pandemi,” jelas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu.
Secara rata-rata, PMI pada kuartal III-2020 sebesar 48,3 menggambarkan kondisi industri manufaktur yang masih rentan. Meski sudah meningkat dibandingkan dengan PMI kuartal II-2020 sebesar 31,73.
Adapun threshold netral PMI berada di angka 50 (angka di atas 50 menunjukkan adanya pertumbuhan positif secara bulanan).