<p>Ilustrasi industri pertambangan. / Pixabay</p>
Industri

Batu Bara Diuntungkan UU Cipta Kerja, Manajemen Bumi Resources Girang

  • Dengan adanya aturan baru ini, Dileep meyakini bahwa produksi batu bara BUMI hingga akhir tahun pun bakal mencapai target. Hingga akhir tahun, kata dia, total produksi batu bara BUMI bakal mencapai 85 juta ton.

Industri
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Emiten batu bara Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menyambut baik pengesahan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). UU sapu jagat alias omnibus law ini diyakini bakal memberikan dampak positif bagi bisnis batu bara di masa mendatang.

Direktur sekaligus Sekretaris Perusahaan Bumi Resources Dileep Srivastava menilai, pembentukan omnibus law sudah komprehensif dengan adanya aturan hilirisasi energi dan sumber daya mineral (ESDM). Khususnya, aturan mengenai royalti 0% bagi peningkatan nilai tambah batu bara dalam pasal 39 UU Ciptaker.

Pasal itu mengatur soal perubahan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dalam beleidnya telah disisipkan pasal 128A soal pemberian perlakuan tertentu kepada pelaku usaha yang ingin meningkatkan nilai tambah batu baranya.

Di ayat berikutnya, yakni pasal 128 A (2), ditegaskan bahwa perlakuan tertentu itu adalah pemberian royalti 0%. Namun, ketentuan lanjutan atas aturan ini akan diperinci lagi pada peraturan pemerintah (PP).

“Kami menunggu penjelasan lebih lanjut terkait kriteria kelayakan dan proyek yang memenuhi syarat dalam peraturan selanjutnya,” terang Dileep kepada TrenAsia.com, Senin 12 Oktober 2020.

Amdal dan IUPK

Selain itu, penyederhanaan izin analisis dampak lingkungan (Amdal) juga dianggap bakal cukup menguntungkan perusahaan batu bara. Aturan itu tertuang dalam Pasal 11 Angka 1 UU Cipta Kerja tentang Amdal.

Menurut Dileep, aturan ini bakal membantu BUMI untuk mengefesiensikan operasional perusahaan. Khususnya, dalam upaya pembuangan limbah tambang dengan menerapkan sistem integrasi.

Meski diakui Dileep ada juga pasal omnibus law yang sedikit menekan sektor tambang. Namun hal tersebut bisa tertutupi oleh aturan lain yang memudahkan. Misalnya saja pada pasal 4A (2) yang menyebut bahwa batu bara bakal menjadi objek yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tetapi di sisi lain, nomenklatur perpanjangan Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batu Bara (PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) akan menutupi tekanan itu.

Pasalnya, saat ini BUMI memang sedang membutuhkan perpanjangan coal contract of works (CCOW) bagi dua anak usahanya.

Dua anak usaha yang dimaksud adalah PT Arutmin Indonesia yang CCoW-nya akan berakhir pada November 2020 dan PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang berakhir pada 2021.

“Secara keseluruhan, UU ini diharapkan dapat mendorong FDI (foreign direct investment) dan bermanfaat bagi investasi, serta mendorong pertumbuhan sektor baru bara dan BUMI,” pungkas dia.

Dengan adanya aturan baru ini, Dileep meyakini bahwa produksi batu bara BUMI hingga akhir tahun pun bakal mencapai target. Hingga akhir tahun, kata dia, total produksi batu bara BUMI bakal mencapai 85 juta ton.

Sementara itu, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada penutupan perdagangan Senin 12 Oktober 2020, saham BUMI masih berada di level Rp50 per lembar. Kapitalisasi saham sejuta umat ini berada pada nilai Rp3,37 triliun. (SKO)