Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di perairan Banten. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Korporasi

Batubara Tak Lagi Menarik, Emiten Ini Pilih Beralih ke Bisnis Energi Terbarukan

  • Keseriusan pemerintah dalam menyongsong Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 mendatang sudah mulai didukung oleh perusahaan-perusahaan di Tanah Air, termasuk batubara.

Korporasi

Feby Dwi Andrian

JAKARTA - Keseriusan pemerintah dalam menyongsong Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 mendatang sudah mulai didukung oleh perusahaan-perusahaan di Tanah Air, termasuk batubara.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dan para pemimpin International Partners Group (IPG) meluncurkan Just Energy Transition Partnership (JETP) bersama dengan para negara mitra.

Negara mitra tersebut yaitu Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Denmark, Uni-Eropa, Prancis, Jerman, Italia, Norwegia, dan Inggris.

Adapun kemitraan itu sangat penting untuk mendukung transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang ambisius dan adil di Indonesia dan konsisten dengan menjaga agar batas pemanasan global tetap dibawah 1,5 derajat Celcius.

"Indonesia berkomitmen untuk menggunakan transisi energi Indonesia untuk mencapai ekonomi hijau dan mendorong pembangunan berkelanjutan," kata Jokowi beberapa waktu yang lalu.

Indonesia dengan dukungan dari mitra internasional akan bekerja untuk mengembangkan rencana investasi yang komprehensif untuk mencapai target dan membangun kebijakan yang signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Adapun beberapa langkah yang sudah dijalankan adalah pertama, mencapai puncak untuk emisi total sektor ketenagalistrikan pada tahun 2030.

Kedua, membatasi emisi sektor ketenagalistrikan sebesar 290 megaton CO2 pada tahun 2030, yang turun dari nilai dasar sebesar 357 MT CO2.

Ketiga, menetapkan target untuk mencapai NZE di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2050 dan memajukan target NZE di sektor ketenagalistrikan Indonesia sepuluh tahun lebih cepat.

Keempat, mempercepat penyebaran energi terbarukan sehingga pembangkit energi terbarukan berfungsi setidaknya 34% dari seluruh pembangkit listrik Indonesia pada tahun 2030.

Kendati demikian, ada beberapa emiten tambang yang sudah mulai beralih kepada bisnis non batubara, di antaranya:

- PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO)

Perusahaan yang dipimpin oleh Garibaldi Thohir ini sudah menyiapkan sejumlah bisnis baru, seiring dengan tuntutan transisi energi.

Menurut Chief Financial Officer ADRO Lie Luckman menyampaikan, perseroan berencana mengembangkan pembangkit listrik tenaga angin, pembangkit listrik tenaga air atau hidro dan pembangkit listrik berbasis surya.

"Saat ini kami menyiapkan bisnis-bisnis baru, sehingga ketika cadangan batu bara semakin menurun, kami memiliki bisnis baru untuk menjaga EBITDA dan financial performance ke depan," katanya.

Lebih rinci, ia juga menambahkan saat ini manajemen perseroan membuat suatu transformasi dari bisnis batu bara ke bisnis yang lebih memiliki nilai di masa depan dan terbagi menajdi tiga lini bisnis.

Pertama, membuat bisnis dari energi yang dihasilkan batu bara ke energi terbarukan, yakni berupa pembangkit listrik tenaga angin, surya, dan air.

Kedua, perseroan secara bertahap akan mengarah ke bisnis pertambangan mineral dari. Untuk saat ini ADRO melalui PT Adaro Alumunium Indonesia tengah membangun smelter alumunium ramah lingkungan di Green Industrial Park Indonesia, Kalimantan Utara.

Ketiga, menyiapkan sebaik-baiknya lini bisnis di bidang industri baterai, mobil listrik, dan industri lain yang merupakan hilirisasi dari dua lini bisnis sebelumnya yakni energi dan mineral.

- PT Indika Energy Tbk (INDY)

Indika Energy terus berupaya memaksimalkan ekspansi bisnis non batubara, terutama di bidang tambang emas, kendaraan listrik, dan pembangkit listrik tenaga surya.

Menurut Head of Investor Relations Indika Energy Ricardo Silaen, kedepannya INDY akan semakin agresif melakukan diversifikasi bisnis non batubara.

"Kami optimis target pendapatan 50% dari bisnis non batubara pada 2025 bisa dicapai," katanya beberapa waktu lalu.

Dalam sektor tambang emas, INDY merealisasikannya lewat investasi di PT Masmindo Dwi Area, anak usaha Nusantara Resources Limited (NUS) pemegang kontrak karya dan pengelola tambang emas di proyek Awak Mas di Luwu, Sulawesi Selatan.

Investasi tersebut sudah INDY lakukan sejak akhir 2018 dan secara bertahap kepemilikan perseroan kini sudah 100% saham NUS. Terakhir, INDY melakukan akuisisi sebesar US$42,8 juta dengan tambahan 72% saham di Masmindo, baik secara langsung dan tidak langsung.

Selanjutnya, tak ketinggalan INDY masuk ke ekosistem kendaraan listrik dengan nama ALVA ONE. ALVA diluncurkan INDY lewat PT Ilectra Motor Group (IMG), yang bergerak dalam industri kendaraan listrik.

Berikutnya, INDY mendorong pengembangan potensi energi terbarukan, khususnya di sektor tenaga surya. Proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) itu akan digarap melalui anak usaha bernama Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS).

Saat ini, EMITS tercatat telah masuk ke pemasangan solar photovoltaic (PV), pengembangan pelabuhan berkelanjutan (green port), hingga pembangunan PLTS hybrid kombinasi solar PV dengan baterai.

Lewat anak usaha tersebut, INDY menargetkan bisa mendapatkan kontrak pemasangan sebesar 80-100 Mega Watt peak (MWP). Proyek PLTS ini juga bekerja sama dengan Fourth Partner Energy, perusahaan energi asal India.

- PT Bukit Asam Tbk (PTBA)

Sementara itu, Bukit Asam menargetkan pendapatan dari usaha non batubara bisa mencapai 10%-15% dari total pendapatan pada tahun 2023.

Menurut Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PTBA, Farida Thamrin mengatakan PTBA tidak akan terburu-buru meninggalkan bisnis batubara.

"Jadi kalau target itu bisa tercapai tahun depan, itu sudah bagus," kata Farida beberapa waktu yang lalu.

Walau demikian, PTBA tetep serius melakukan pengembangan usaha non batubara, terutama di energi terbarukan.

"Juga hilirisasi batubara melalui proyek pengembangan gasifikasi batubara melalui PTBA, Pertamina, dan Air Products & Chemicals Inc (APCI)," ungkapnya.

Selain itu, ekspansi bisnis perusahaan ke sektor energi baru dan terbarukan terus bergulir. PTBA saat ini menjajaki potensi kerja sama pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di lokasi operasional Semen Indonesia Group (SIG).

PTBA melalui anak usahanya, PT Bukit Energi Investama (BEI) akan membangun PLTS untuk mendukung kegiatan operasional pabrik PT Semen Padang yang merupakan anak usaha SIG.

Selain PLTS, PTBA juga menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan China Huadian Corporation (CHID) untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) berkapasitas 1.300 MW di China Selatan.

Kemudian, dalam rangka pengurangan emisi karbon global, ditandai dengan sinergi bersama dengan PT Jasa Marga (Persero) Tbk dalam pengembangan PLTS di jalan tol Jasa Marga Group.

Di antarnya pembangunan PLTS di jalan tol Bali-Mandara yang berkapasitas 400 Kilowatt-peak (kWp).

Sebelumnya, PTBA telah membangun PLTS di Bandara Soekarno-Hatta melalui kerja sama dengan PT Angkasa Pura II (Persero). 

PLTS tersebut teridiri dari 720 solar panel system dengan photovoltaics berkapasitas maksimal 241 kWp dan terpasang di gedung airport operation control center (AOCC). PLTS itu kini sudah beroperasi secara penuh sejak 1 Oktober 2020.

- PT Bumi Resources Tbk (BUMI)

Bumi Resources saat ini membuka peluang untuk melakukan diversifikasi bisnis. BUMI siap mengembangkan produk hilir batubara.

BUMI berencana memabgnun pabrik pengolahan batubara menjadi gas atau gasifikasi di kawasan Kalimantan. Harapannya, proyek gasifikasi batubara dapat mengurani ketergantungan impor energi.

Corporate Secretary BUMI Dileep Srivastava mengatakan, saat ini proyek gasifikasi batubara masih tahap studi kelayakan atau feasibility studi. Targetnya, studi kelayakan tersebut rampung pada tahun ini.

Saat ini, manajemen BUMI belum bisa menaksir nilai investasi proyek gasifikasi batubara secara pasti. Jika berkaca pada tahap studi kelayakan yang sedang berjalan, ada kemungkinan proyek tersebut akan menelan investasi US$1 miliar hingga US$2 miliar.

Selain gasifikasi batubara, manajemen BUMI siap mengembangkan bisnis mineral seperti emas dan seng.

Untuk komoditas emas, BUMI sudah memulai uji coba fasilitas produksi bijih emas di tambang Poboya, Palu, Sulawesi Tengah.

BUMI menjalani bisnis emas melalui anak usaha, Bumi Resource. Perseroan juga memiliki anak usaha PT Citra Palu Minerals yang mengelola tambang emas Poboya.

Direktur utama PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) Suseno Kramadibrata menyampaikan, perusahaan usdah mengonfirmasi bahwa BUMI sudah menjalani uji coba fasilitas produksi di tambang emas Poboya sejak Januari 2020.

Pada tahap pertama, BRMS dapat memproduksi 297 gram dore bullion. Dari sisi fasilitas produksi emas itu, Suseno memproyeksikan BRMS dapat memproduksi 100.000 ton bijih di tahun ini. Jumlah tersebut akan naik menjadi 180.000 ton bijih pada tahun depan  

Menurut Dileep, BUMI juga sedang mengembangkan proyek tambang seng di Dairi, Sumatera Utara dan sudah beroperasi secara komersial di tahun 2022.

Dileep optimistis diversifikasi bisnis non-batubara akan mendatangkan manfaat besar di masa mendatang. Ia memperkirakan, dalam jangka menengah komposisi perbandingan pendapatan antara bisnis batubara dan non-batubara di kisaran 60:40.

- PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG)

Indo Tambangraya memanfaatkan momentum kenaikan harga batu bara dengan menerapkan strategi manajemen biaya yang efisien.

Direktur Utama ITMG Mulianto menyampaikan, perseroan fokus pada bisnis batu bara namun juga mulai masuk ke bisnis energi terbarukan. Komitmen bisnis EBT ini nampak dengan perseroan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

"Saat ini sektor pertambangan batu bara sebagai bisnis inti memberikan kontribusi pendapatan secara signifikan pada perusahaan. Dua bidang usaha yang lain adalah jasa energi serta bisnis terbarukan," kata Mulianto beberapa waktu yang lalu.

Lebih lanjut, pada bisnis terbarukan, ITMG mengambil peluang usaha panel surya atap yang kebutuhannya kian bertumbuh dengan memfokuskan pada anak usahanya yakni PT Cahaya Power Indonesia (CPI).

Pada paruh pertama 2022, perseroan telah menandatangani perjanjian pembelian tenaga listrik (PPA) atap surya dengan total kapasitas sebesar 7,27 MWp.

Selain itu, PLTS di pelabuhan Bontang juga telah meningkatkan porsi konsumsi energi dari sumber energi terbarukan. Saat ini, perusahaan juga tengah membangun PLTS baru di Melak.