<p>Tampak logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Senin, 6 Juli 2020. Logo baru yang diluncurkan pada Rabu, 1 Juli 2020 menjadi simbolisasi dari visi dan misi kementerian maupun seluruh BUMN dalam menatap era kekinian yang penuh tantangan sekaligus kesempatan. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional

Bau Amis Kunker PKBL DPR-BUMN (Serial 2): Budaya Kotor Jadi Beban Perusahaan Pelat Merah

  • Praktik permintaan ‘uang saku’ ke perusahaan pelat merah untuk anggota DPR yang hadir dalam kunjungan kerja (kunker) sedikit terkuak.

Nasional
Sukirno

Sukirno

Author

JAKARTA – Praktik permintaan ‘uang saku’ ke perusahaan pelat merah untuk anggota DPR yang hadir dalam kunjungan kerja (kunker) sedikit terkuak.

Permintaan tersebut diduga dilakukan melalui oknum staf Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan bahasa sandi tertentu. Bagi BUMN, pengajuan proposal untuk membantu Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) menggunakan dana corporate social responsibility (CSR) sudah biasa dilakukan.

“Dan memang itu membantu BUMN dalam menjangkau dan membantu daerah-daerah yang membutuhkan. Hanya saja, ketika ada permintaan ‘uang saku’, itu yang mungkin bagi BUMN agak repot,” kata sumber TrenAsia.com yang enggan disebutkan identitasnya.

Adapun besaran permintaan uang saku tersebut disebutkan berkisar antara Rp10 juta-Rp30 juta per kunjungan kerja, sesuai dengan kriterita atau skala bisnis BUMN besar atau kecil.

Sementara itu, terkait dengan besaran dana PKBL yang disalurkan untuk dapil anggota DPR yang mengajukan proposal ke BUMN tersebut nilainya beragam, mulai dari puluhan juta hingga miliaran rupiah.

Menteri BUMN Erick Thohir dan Wamen BUMN Kartika Widjoatmodjo serta Budi Gunadi Sadikin / Dok. Kementerian BUMN
Rahasia Umum

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, pelaksanaan PKBL harus dilakukan secara transparan. Sebab, hal ini menyangkut dengan pertanggungjawaban publik, baik dari anggota DPR maupun perusahaan BUMN itu sendiri.

Di sisi lain, ia mengakui bahwa situasi tersebut bukanlah sesuatu yang mengherankan. Pasalnya, sambung Trubus, fenomena pemberian ‘uang saku tambahan’ ini sudah menjadi kebiasaan hingga akhirnya menjadi budaya tersendiri.

Di sisi lain, kata dia, jika dilihat dari sisi kelaziman, biasanya kerja sama antara Kementerian BUMN dengan anggota DPR dilakukan berdasarkan kesepakatan. “Tidak mungkin PKBL itu ‘say thank you’ doang, pasti ada yang diberikan,” ucapnya saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com belum lama ini.

Kesepakatan itu dianggapnya sebagai hubungan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Di daerah pemilihan (dapil) anggota DPR, perusahaan BUMN yang menyelenggarakan PKBL atau CSR akan mendapatkan branding yang bagus. Sementara bagi anggota DPR sendiri, pengaruhnya terhadap masyarakat di wilayah tersebut akan bertambah kuat.

Kemudian, faktor koneksi juga menjadi latar belakang adanya kerja sama tersebut. Pengamat ini mengatakan, ada hubungan terkait kedudukan para direksi perusahaan BUMN dengan dukungan anggota DPR.

“Selama ini kan kedudukan direksi-direksi BUMN juga di-support oleh para anggota DPR. Jadi, misalnya saat rapat dengan para DPR, direksi tersebut tidak disodorkan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan,” kata dia.

Ilustrasi di Ruang Komisi DPR RI. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Pengawasan PKBL Belum Jelas

Trubus pun mendorong agar praktik pemberian ‘uang saku’ semacam ini mesti diusut tuntas. “Praktik seperti ini harus segera dihentikan,” tegasnya.

Ia juga melihat bahwa keberlangsungan praktik ini telah berjalan dari hulu ke hilir. Dengan kata lain, daerah dapil yang bakal mendapatkan PKBL, juga menawarkan komisi untuk anggota DPR.

“Anggaran kunker itu sendiri sudah ada, tapi sering kali dianggap tidak cukup. Jadi, terkadang daerah dapil juga menawarkan. Ya kan enggak mungkin, misalnya yayasan A mau dapat (anggaran), itu kan nanti mereka memberikan komisi juga pada anggota DPR,” ungkapnya.

Di sisi lain, kendati ‘uang saku’ tambahan ini tak berpengaruh signifikan pada laporan keuangan perusahaan, Trubus mendorong agar praktik ini harus dihentikan. Sebab, hal ini berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan malaadministrasi.

“Penegakan hukum dan pengawasan mesti diperkuat. Siapa yang mengawasi PKBL ini? Apakah diserahkan ke Sekjen DPR saja atau memang ada lembaga lain yang mengawasi. Soal tanggung jawab ini harus jelas, apalagi kalau anggarannya banyak,” tambah Trubus.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir saat akan mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 30 November 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Pandangan Ombudsman

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Alvin Lie justru fokus pada praktik yang dilakukan oknum staf Kementerian BUMN sebagai ‘penyambung lidah’ dalam pemberian ‘ongkos’ kunker anggota dewan.

“Itu lebih enggak benar lagi kalau staf kementerian yang mengajukan untuk BUMN mengeluarkan duit. Enggak boleh itu,” imbuhnya.

Baginya, hal semacam ini perlu diusut. Pasalnya, seorang staf kementerian tidak memiliki wewenang sebagai penyambung atau bahkan penghimpun dana untuk kegiatan kunker wakil rakyat.

“Ya itu yang perlu diusut, betul enggak untuk anggota dewan. Staf kementerian itu punya kewenangan atau tidak untuk menghimpun dana. Penghimpunan dana itu legal atau tidak,” tukas pria yang juga mantan anggota DPR RI tersebut.

Di sisi lain, ia malah menganggap keikutsertaan BUMN dalam kegiatan kunker anggota legislatif merupakan hal yang biasa. Menurutnya, hal ini sebagai bentuk pengawasan DPR RI terhadap berbagai kegiatan BUMN, termasuk PKBL.

“Kalau untuk pembiayaan kegiatan itu biasa-biasa sajalah, yang namanya BUMN kadang kan juga mengundang pejabat, mengundang (anggota) DPR untuk menyaksikan (kegiatan PKBL). Tapi kalau sampai ada uang saku itu yang enggak boleh,” tegasnya.

Alvin juga menyebut bahwa adanya pelaksanaan kunker dan PKBL secara bersamaan ini akibat adanya keterbatasan APBN untuk memberdayakan daerah tertentu. Sehingga, membuat anggota dewan mendesak BUMN untuk melakukan CSR di wilayah dapilnya masing-masing.

Anggota DPR Fraksi Gerindra Andre Rosiade saat menyerahkan PKBL dari BUMN / Twitter @andre_rosiade
DPR dan BUMN Bantah

Karena pimpinan komisi yang menjadi penanggungjawab atas jadwal kunker tiap anggota dewan, maka TrenAsia.com juga melakukan konfirmasi kepada Ketua Komisi VI DPR RI, Faisol Riza.

Saat ditanyai adanya permintaan ‘ongkos’ yang dilakukan oknum anggota DPR kepada perusahaan pelat merah, politikus PKB tersebut menyangkalnya. Secara singkat ia menegaskan bahwa pihaknya tidak membutuhkan uang saku saat menjalankan kegiatan kunker PKBL BUMN.

“Enggak ada uang saku. Kok pakai uang saku segala?” tulis Faisol melalui pesan singkat.

Sementara, anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Aria Bima justru menyatakan bahwa ada jatah uang saku yang dikeluarkan tiap kali anggota dewan melaksanakan kunker. Dan hal itu diatur oleh Sekretariat Jenderal DPR RI.

“Kalau mengenai PKBL itu domain BUMN, bukan Komisi VI,” tambah Aria.

Saat dikonfirmasi, Staf Khusus Menteri BUMN Arya Mahendra Sinulingga juga membantah adanya praktik permintaan uang saku itu. “Hoax itu ada uang saku,” tegasnya singkat. (SKO)

Artikel ini merupakan serial terakhir dari sebelumnya yang berjudul “Bau Amis Kunker PKBL DPR-BUMN (Serial 1): Ada Dugaan Bagi-Bagi Duit “Uang Saku”.